PENYEBARAN AGAMA ISLAM
DI SULAWESI UTARA
Dagang, Kerajaan dan Keulamaan
A. Masuknya Agama Islam
Karena
Sulawesi Utara terdiri atas beberapa daerah yang letak geografisnya berjauhan
dan berbeda-beda antara satu dengan yang lain, juga karena faktor hasil bumi
sebagai salah satu penarik masuknya pihak luar ke Sulawesi Utara, menyebabkan
masuknya agama Islam antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di
Sulawesi Utara berbeda-beda, baik dari segi permulaan masuknya, proses, cara
dan jalur penyebaran, maupun faktor-faktor yang merupakan penghambat dan
pendukungnya.
Berikut
ini akan dikemukakan tentang permulaan masuknya agama Islam di Sulawesi Utara
secara perdaerah.
Minahasa.
Suatu
daerah yang telah memeluk agama Islam, sebelum kompeni Belanda masuk Minahasa,
ialah daerah Ponosokan, yang ibu walaknya Belang.
Menutut cerita keluarga Paris
permulaannya demikian :
Sekitar tahun 1590, adalah seorang Arab masuk Belang
dengan maksud mengkabarkan agama Islam kepada penduduknya. Penduduk Ponosokan itu
adalah suku Mongondow. Orang Aran itu namanya disebut orang Wahes. Nama itu barangkali dipendek dari
Wahid Rais, atau Abdulwahid Rais, ia seorang Said, yang datang dari tanah Arab.
Tetapi rupa-rupanya tempatnya yang lebih dulu, ialah Ternate. Dari Ternate ia
datang ke Belang. Meski diketahui bahwa pada masa-masa itu, seolah-olah
berlomba-lomba pekabar agama Islam masuk ke teluk Tomini : Palasa, Kotabunan,
Molibagu, Gorontalo dan lain-lain, lalu ke Belang mereka tidak liwati.
Sahid
Wahes atau Wahid kawinlah dengan seorang Bua/puteri raja Dodi Mokoagow. Ia
menetap di sana sampai meninggal dunia di Belang, lalu dimakamkan di sebuah
tanjung.
Dari
turunan mereka yang terkenal menjadi Kepala Disterik Ponosokan pada tahun 1859
ialah Oesman Golosumpala dengan gelar
Majoor. Dan camatnya ialah Baba Abdullah.
(D. Brilman : 1938).
Turunan
lurus dari mereka ialah keluarga Hasan
Paris pada tahun tiga puluhan, dan kini disebut keluarga Paris. (Paris dipendekkan dari nama Pak
Rais).
Agama
Islam masuk Manado pada tahun 1684, bersama dengan kedatangan buruh-buruh yang
dibawah oleh kompeni ke daerah ini untuk mendirikan barikade/benteng kayu, yang
akan dijadikan lagi tempat memaparkan barang-barang dagangan, dan tempat
mengumpulkan barang-barang seperti beras, padi, ayam, sarang madu, kulit penyu
dan lain-lain.
Buruh
yang didatangkan oleh kompeni tersebut adalah orang-orang Makasar, Bali,
Ternate turunan Portugis, Spanyol, Manila dan Cina, dimana orang-orang
yang berasal dari Makasar, dan Ternate pada umumnya beragama Islam.
Dalam
fase berikutnya, agama Islam masuk Minahasa dibawah oleh pejuang perintis
kemerdekaan yang diasingkan oleh pemerintah Kolonial Belanda ke daerah ini,
masing-masing :
1. Pejuang Perintis Kemerdekaan Berasal Sumatera.
a. Berasal dari Padang.
Pada
tahun 1805 (?) suatu rombongan pejuang perintis Kemerdekaan yang berasal dari
Padang tiba di Minahasa. Diantara mereka yang terkenal ialah Si Namin Gelar Malim Muda, Di Gorak Gelar
Malim Panjang, Haji Jamil Gelar Si Nan Tujuh, Haji Abdul Halim, dan lain-lain.
b. Berasal dari Palembang.**
Pada
tahun 1818 di Palembang timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Sultan Najam. Usaha tentara Belanda
untuk memadamkan pemberontakan ini dipimpin oleh Muntinghe. Sultan Najam kemudian diganti oleh Sultan Najam II yang melanjutkan
pemberontakan itu tapi ia dapat ditaklukan oleh tentara Belanda di bawah
pimpinan Wolter Beek. Sultan Najam II
di asingkan ke Minahasa, dan di Manado ia terkenal dengan Sultan Najamuddin II yang meninggal dunia pada tahun 1844. Diantara
pengiringnya terdapat Said Abdullah
Assagaf yang turunannya banyak tersebar di Sulawesi Utara. (Taulu H.M :
1980).
c. Berasal dari Padang/Minangkabau
**.
Perang
Padri di Minangkabau telah mulai berkobar pada tahun 1823 sampai 1837. Mulanya
dipelopori oleh Haji Miskin, Nanrince dan lain-lain. Perang tersebut
berpusat di Kota Bonjol dengan Pimpinan Utama Tuanku Iman Bonjol. Oleh gempuran
telah Belanda di bawah pimpinan Michels,
pada 3 Oktober 1837, kota Benteng Bonjol jatuh dan Imam Bonjol tertangkap,
kemudian diasingkan ke Minahasa, dan ditempatkan di desa Lotah kira-kira
10 km dari Manado. Diantara pengiring-pengiringnya antara lain Sultan Baginda. Di Minahasa Tuanku Imam
Bonjol dapat bergerak di daerah distrik Kakaskasen sampai desa Koka. Di
daerah-daerah tersebut ia sempat membuka usaha pertanian, pemeliharaan kambing,
ayam dan lain-lain. Ketika berada di Lotah Tuanku Imam Bonjol lebih taat lagi
menjalankan ibadah, sehingga sangat menarik banyak umat Islam yang telah lebih
dahulu berada di MInahasa. Pembantu-pembantu yang datang bersamanya sambil
belajar agama antara lain Tubagus dan
Si Nan Tujuh. Demikian taatnya Tuanku
Imam Bonjol menjalankan agama Islam sehingga seorang bekas tentara Belanda
bernama Apolos Minggu yang dahulunya
beragama Kristen tergugah hatinya dan kemudian beralih masuk Islam. Menjelang
akhir hidupnya Tuanku Imam Bonjol, mendirikan sebuah rumah di Paal Lima pada
suatu dataran kecil yang setengahnya dilingkari air sungai Malalayang.
Sesudah itu beliau berpindah ke Selatan bercampur dengan petani-petani bekas
pejuang perintis kemerdekaan yang diasingkan dari Lampung. Daerah tersebut kini
dikenal dengan kebun Lampung dimana terdapat sebuah pemakaman Islam. Tuanku
Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1864.
d. Berasal dari
Lampung.
Suatu rombongan pejuang perintis
kemerdekaan yang diasingkan dari Lampung ditempatkan di desa Lotak (Minahasa).
Mereka mendapat tanah perkebunan di sebelah Barat Sungai Malalayang tidak jauh
dari desa Lotak. Mereka didatangkan kesana melalui Tuanku Iman Bonjol. Pimpinan
rombongan tersebut ialah Raden Rahmat yang menurut berita adalah salah seorang
putera Sultan Hasanuddin. Setelah kedatangan Tuangku Imam Bonjol para pejuang
dari Lampung ini bergabung dengan Tuanku Imam Bonjol.
e. Berasal dari
Aceh.
Pejuang perintis kemerdekaan Tengku
Mohammad berasal dari Aceh dan merupakan bekas pengiring Teuku Umar dalam
perang Aceh, diasingkan ke daerah Minahasa pada tahun 1895. Ia juga adalah
merupakan seorang penganjur agama Islam di Minahasa.
2. Pejuang Perintis Kemerdekaan Berasal dari Jawa.
a. Berasal dari Batam/Serang
Pada tahun 1790 beberapa dari para
pemimpin pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Bamtam ditangkap
dan diasingkan ke Minahasa, antara lain Tubagus,
Buang, Penghulu Abusalam, Mas Jebeng, Mukali, Abdu Rasjid, Abdul Wahid, Abdul
Haji, Abdul Rais, dan lain-lain.
Pada akhir abad lalu
terdapat lagi satu keluarga asal Bantam tersebut yang terkenal dengan nama Ratu Agong bersama dua orang putera
yaitu Sulaiman dan Adam. Diantara cucu keluarga tersebut
yang bernama Salim Mas Obed kawin
dengan nona Kaligis dan menurunkan
beberapa orang anak yaitu: R.A.Maimunah,
R.A.Saliman, R.A.Napiyah, R.A. Aisah, R.A.Anifah, R.A.Sitti dan R.A.Saijah.
b. Berasal dari Jawa Tengah.
Sebagaimana dimaklumi
dalam tahun 1825-1830 di Jawa Tengah pecah
perang melawan penjajah Belanda yang dipimpin oleh pangeran Dipanegoro
dengan dibantu salah seorang tangan kanannya yaitu Kiai Mojo. Setelah berperang
selama 4 tahun Kiai Mojo terkepung dekat Banyumas lalu tertangkap kemudian
bersama-sama dengan kira-kira 60 orang pengirim diasingkan ke Ambon. Pangeran
Dipanegoro sendiri sesudah berperang melawan Belanda selama 5 tahun ditangkap
secara tipu muslihat oleh Jendral De Koch pada 28 Maret 1830 di Menareh dekat
Magelang. Dari Mangelang, Diponegoro dibawah ke Betawi lalu dari sana
diasingkan ke Manado pada tahun 1830 itu juga, dan ditahan dalam Benteng
Amsterdam di Manado. Pada tahun 1835 Kiai Mojo dipindahkan ke Tondano
(Minahasa). Oleh karena itu pemerintah Belanda tidak mau mempertemukan kedua
pejuang tersebut maka pada tahun itu juga Pangeran Dipanegoro dipindahkan ke
Makassar. Diantara para pengiring Kiai Mojo yang didatangkan ke Tondano antara
lain Tumenggung Reksonegoro, Tumenggung
Sasak Majang, Kyaj Kamil Demak, Pulukadang, Sataruno, Joyosuroto, Surotinoyo,
Masloman dan lain-lain. Kiai Mojo meninggal dunia di Tondano pada 29
Desember 1849. Sebagian turunan mereka dewasa ini tersebar di Kampung Jawa,
Sarongsong, Gorontalo dan lain-lain. Diketahui bahwa selama Pangeran Dipanegoro
ditahan di Benteng Amsterdam Manado, pada tiap-tiap hari Jum’at beliau
melakukan sholat Jum’at di Mesjeid Kampung Pondol yang merupakan mesjid tua di
Manado.
c. Berasal dari Solo
Diujung Utara Kampung Pondol berbatas
dengan Gereja Pantekosta sekarang ini, ada suatu komplex yang sampai tahun 1940
dikenal dengan nama Keratonan. Di
tempat ini pada tahun 1860 telah didirikan oleh penjajah Belanda suatu Keraton
(keraton bersahaja) yang didiami oleh keluarga Pangeran Prabuningrat yang pada
tahun 1832 diasingkan ke Manado. Disekitar tempat itu berdiam pula satu
keluarga bangsawan solo bernama R.M.
Abdul Razak, yang kabarnya adalah putra dari R.A. Salamah. Selanjutnya Raden Mas Abdulrazak kawin dengan Unggu Bin Sihaka dimana mereka mendapat
4 orang anak yaitu R.M. Sujadi, R.M.
Obed, R.A. Tien dan seorang yang tidak dikenal namanya, dan kawin kedua
kali dengan Ema Sondakh tapi tidak
memperoleh keturunan. Pada tahun 1940, R.M. AbdulRazak bersama keluarganya
kembali ke Jawa (wawancara lanjutan
dengan Ali Kasim, eksponen 66).
d. Berasal dari Cilegon.
Diantara
para pejuang yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda di
Cilegon pada tahun 1888, beberapa diantaranya diasingkan ke Minahasa yaitu Haji Jaafar, Kasim Maskun, Kyai, Haji Arsad
Thawil dan lain-lain.
3. Pejuang perintis Kemerdekaan dari Kalimantan.
Adalah berasal dari Banjarmasin.
Pada
tahun 1787 terjadi pro dan kontra dalam pengangkatan Sultan Banjarmasin yang
kemudian menimbulkan pemberontakan antara rakyat landshap-landshap Siang dan Murung dan
berlangsung sampai 1884. Diantara para pemimpin pemberontakan tersebut dikenal Pangeran Perbatasari.
Ketika
Pangeran Perbatasari pergi ke Kutai untuk membeli senjata dan amunisi ia
ditangkap oleh Sultan Kutai dan diserahkan kepada Pemerintah Belanda.
Pada
tahun 1885 Pangeran Perbatasari diasingkan ke Minahasa dan ditempatkan di
Tondano. Diantara pengiringnya adalah Antasari.
Permulaan Masuknya Agama Islam
di Sangihe dan Talaud.
Menurut
Dokumen Monografi Daerah Kabupaten Sangihe-Talaud, bahwa pada akhir abad ke-15
masuklah agama Islam kekepulauan Sangihe dan Talaud melalui Filipina Selatan.
Terkenal Syarif Maulana Ma’mun, seorang bangsa Arab datang ke Tabukan Utara di
kerajaan Lumange. Raja Lumange masuk agama Islam, sebagai penyebar agama Islam
di Kepulauan ini dan raja Maselihe (Bangsa/bahasa Arab = Syamsul Alam) yang
dalam letusan gunung api (gunung Awu) tahun 1622 kerajaan ini musnah. (gunung
apa? Dan bagaimana kisah selanjutnya).
Pada
abad ke-17 hubungan Islam bertambah baik dengan kesultanan Ternate, karena
kekuasaan sultan sampai di kekepulauan ini. (deskripsikan hubungan dengan Ternate.....)
Diketahui
ada 2 (dua) versi agama Islam di kepulauan ini :
a. Agama Islam Tua (istilah ini
digunakan sebelum terbitnya Nomor Inventarisasi I.273/F.3/N.I.1/1985 tertanggal
5 Pebruari 1985 tentang Organisasi Masade telah terdaftar sebagai Aliran
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Nomor Inventarisasi ini diterbitkan
oleh Dirjen Kebudayaan Dep.Dik.Bud RI).
Penganut-penganut agama
itu menyebut “Agama Islam” dengan “Islam Qur’an”, sedangkan penganut agama
Islam Tua menyebut dirinya nama Gurunya (Masade). Ada tiga aliran agama Islam
tua (sekarang Penghayat) yaitu agama Islam Hindu, agama Islam Makung dan agama
Islam Biangkati (seorang wanita).
Islam tua ini, baik Hadung (menurut lafal orang-orang Tua yang
sebenarnya Muhammad, Makung dan Biangkati, ketiga-tiganya sama-sama berguru di Tugis
(Filipina Selatan)**. Berdasar peninggalan sejarah yang dituturkan dari
mulut ke mulut, bahwa sistem pengajaran diberikan secara lisan oleh pemimpin
yang bersifat turun temurun. Mereka juga memelihara anjing dan babi, dan mereka
melaksanakan puasa selama 3 hari dan 3 malam. Selain dari pada itu, mereka juga
mengadakan “pohon terang” seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kristen.(diteliti
lagi....)
Pusat ibadah mereka dilakukan di masjid atau di rumah-rumah Iman. Agama
Islam Hadung, penganut-penganutnya banyak terdapat di Kalakube’ dan Lenganeng
Agama Islam Makung, pengikut-pengikutnya tersebar di Enggohe (Tinakareng, pulau
Toade’) dan Tariang Baru, kesemuanya terdapat di Tabukan Utara Sedangkan
agama Islam Biangkati terdapat di Sawang (sebelah utara Sangihe Besar). Pengikut-pengikutnya
hingga sekarang hampir tidak ada lagi.
Islam Hadung dan Makung, pengikutnya sudah mulai berkurang, yang masih
ada sekitar 3000 orang. Mereka hanya puasa selama 3 hari dan banyak
upacara-upacara istimewa. Upacara kematian dan penguburan yang banyak makan
biaya. Pengajian dan puasa dan pelaksanaan syariat-syariat Islam lainnya ± 80 %
bersalahan dengan tuntutan Islam Ahlussunah Waljamaah.
b.
Pengajaran-pengajaran agama Islam sesungguhnya masuk dari Ternate
sekitar abad ke 17, walaupun belum sesuai benar dengan Alqur’an dan Alhadist,
tapi dianggap cukup memadai dibanding dengan pengajaran-pengajaran yang pernah
diterima masyarakat sebelumnya melalui Islam Tua. Kampung Tidore di Kecamatan
Tahuna menunjukan bahwa suku Tidore yang datang ke pulau Sangihe Besar
(Tabukan) yang menetap, ternyata telah berkembang baik (?), telah menjadi
penduduk kampung Tidore dewasa ini. Hubungan dengan Ternate pada zaman
kekuasaan Sultan Ternate dan pada zaman VOC antara penduduk di kepulauan ini
dengan VOC telah terjadi perdagangan minyak kelapa (yang dahulu disebut “minyak
busuk”, sebab yang dibawa ke Ternate itu adalah kelapa yang sudah diparut lebih
dulu, baru diolah di Ternate, untuk diambil minyaknya. Dalam hubungan ini,
orang-orang yang berlayar ke Ternate, mempelajari agama Islam disana, dan
setelah mereka kembali kekampung halamannya di Sangihe-Talaud ini,
ajaran-ajaran Islam yang sudah mereka terima dengan baik itu, lalu segera
mereka sebar luaskan kepada masyarakat lingkungannya. (apa orang kp. tidore
mengakui?)
Selanjutnya
pada abad ke 19, pedagang yang beragama Islam masuk ke kepulauan ini. Secara
tidak langsung mereka terpengaruh dengan perkembangan dan pertumbuhan Islam
didaerah ini. Mereka dari suku-suku Bugis, Suku Gorontalo, suku Ambon dan Suku
Arab yang kesemuanya itu telah ikut ambil bagian dan punya peranan penting
dalam tersebarnya Islam dikepulauan ini, apalagi setelah terjadinya proses
kawin mengawin antara pendatang tersebut dengan penduduk setempat. Suatu kendala yang cukup mendasar yang dihadapi
ummat Islam sejak awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya antara lain
yang menyangkut masalah pendirian tempat Ibadah (Masjid) masalah ini dikatakan
mendasar karena masjid bagi ummat Islam bukanlah sekedar tempat bersujud
Shalat, tetapi tak kalah pentingnya dari itu adalah, dimana fungsi masjid
sebagai wadah “pembinaan umat”, sebagai pusat kegiatan/aktivitas ummat, baik
rohani maupun jasmani. Fungsi-fungsi inilah yang menempati posisi strategis
sejak awal pertumbuhan dan perkembangan Islam didaerah ini, namun strategi itu
ternyata tercium bahkan dipahami oleh bangsa-bangsa penjajah kolonial/maupun
para penjajah ideologi/Aqidah, antara lain dengan cara mempersulit “perizinan”
pendirian tempat ibadah yang harus diproses dan ditetapkan oleh Gubernur Jendral.
Hal inilah yang menjadi salah satu sebab diusirnya sebagian warga/penduduk
Kampung Tidore-Tabukan diasingkan/diungsikan kekampung Tidore-Tahuna sekarang
karena mereka dianggap telah menantang kebijakan pemerintah Belanda, dan selalu
menuntut pendirian masjid-masjid baik di Peta, Moronge dan Tidore- Tahuna.
Perkembangan
dan penyebaran agama Islam di daerah kepulauan Sangihe-Talaud ini banyak
dipengaruhi oleh munculnya di daerah ini berbagai organisasi sosial/politik
Islam antara lain seperti : Pada tahun 1918, partai politik (Islam) masuk
kedaerah ini dengan kunjungan beliau H.Abdul Muis ke Sangihe Besar, beliau
selaku tokoh dari partai “Syarikat Islam” (S.I). Beliau telah memberikan
pembinaan kesadaran kepada ummat Islam didaerah ini. KRING S.I terbentuk di
kampung Tidore untuk Sangihe Talaud, yang pada awal pergerakannya mendapat
kemajuan, namum karena tekanan penjajah kolonial dan raja-raja yang berkuasa,
gerak laju organisasi ini semakin mengendor dan surut sampai tahun 1932.
Pada
tahun 1932 KRING PSII dibentuk di Sangihe Besar, dan pada tahun 1935 dibentuk
pula di Kendahe Talawid-Bahu yang diasuh oleh L.A. PSSI Manado dengan
mendirikan sekolah-sekolah. Pada waktu itu PSSI tidak berkembang
kekampung-kampung lain, namun demikian pada tahun 1939 berdirilah L.A. PSII di
Kendahe. Sejak tahun 1947 L.A. PSII di Kendahe aktif kembali, setelah pasif
selama masa pemerintahan Jepang, dan mendapat perhatian yang khusus oleh semua
lapisan ummat Islam didaerah ini.
Mulai
sejak tahun 1937 Muhammadiyah telah bergerak dibidang pendidikan pada
sekolah-sekolah kewanitaan, kepanduan syair-syair Islam, usaha ini pada tahun
1941 musnah oleh Jepang (wawancara lagi dengan tokoh Muhammadiyah). Syair-syair
agama Islam sejak tahun 1936 cukup mendapat perhatian dari umat Islam, terbukti
dengan berdirinya pada sembilan (9) kampung, antara lain di Peta, Tahuna,
Likuang, Bahu, Kendahe dan lain-lain.
Kemudian
pada tahun 1944, atas persetujuan pemerintahan Jepang, Lahir Badan Persatuan
Islam Sangihe Talaud (BPIST). Tahun 1947, lahir pula di Tahuna Badan Al-Chaerat
dengan mendirikan sebuah Madrasah Ibtidaiyyah. Berbarengan dengan itu lahir
pula Dewan Islam Tabukan yang bertujuan: antara lain “mempersatukan Islam di
Tabukan dan akhirnya menjadi Dewan Islam di Sangihe Talaud pada tahun 1948
(D.I.S.T) ini berpusat di Tahuna. Dan pada tahun 1950 Muhammadiyah di Peta,
yang telah putus hubungannya dengan pusatnya di Jakarta sejak zaman Jepang dan
zaman Republik bangun kembali. Dan selanjutnya, pada tahun 1951 muncullah di
daerah ini Partai Politik (Islam) MASYUMI (teliti lagi)
Dengan
kehadiran organisasi sosial politik (Islam) ini, tampaknya membawa arti
tersendiri bagi pertumbuhan dan pengembangan Islam dan Ummatnya di daerah 77
pulau ini, khususnya di Sulawesi Utara pada umumnya.
Permulaan Masuknya Agama Islam
di Bolaang Mongondow.
Diakui
bahwa pada masa pemerintahan Raja Eugeneus Manoppo (tahun 1767-1770) untuk
pertama kalinya agama Islam masuk di Istana Kerajaan Bolaang Mongondow.
Sebelum
agama Islam masuk di Bolaang Mongondow tahun 1848 pada masa pemerintahan Raja
Jocobus Manuel Manoppo maka di kerajaan Bolaaang Mongondow sudah ada agama
Kristen Katolik. Bahkan sudah termasuk agama tua di Bolaang Mongondow karena
Raja Loloda’ Mokoagow pada masa pemerintahannya tahun 1689 sudah memeluk agama
Katolik.
Akan
tetapi setelah kekuasaan Raja Loloda’ Mokoagow menyebar sampai seluruh daerah
Minahasa sekaligus mengangkat dirinya sebagai raja Manado (1633-1655) maka Raja
Kerajaan Bolaang Mongondow itu benar-benar berada di puncak ketenaran dan
kemasyuran. Ia dikenal sebagai seorang yang berbakat tinggi dalam ilmu strategi
dan unggul dalam bidang diplomasi
sehingga Sultan Hairun dan Sultan dan Kesultanan Ternate mengikat perjanjian
dengannya, bahkan raja-raja Ternate perhitungkan rasa hormat terhadap raja-raja
Bolaang Mongondow sebagai asal keturunan mereka.
Tidak
mengherankan terjalinnya hubungan yang intim antara Raja Loloda’ Mokoagow dan
Sultan Ternate menyebabkan raja Loloda’ Mokoagow yang sudah memeluk agama
Katolik menyatakan masuk agama Islam yaitu agama yang sudah mendara daging di
Kesultanan Ternate. Walaupun demikian ke-Islaman yang dianut Loloda’ Mokoagow
hanyalah formalitas karena Loloda’ masih lebih banyak dipengaruhi kepercayaan
animisme dan dinamisme.
Demikian
pula raja-raja berikutnya yang silih berganti tidak ada yang tertarik dengan
agama Islam yang sudah dianut Raja Loloda’Mokoagow karena semuanya memeluk
agama Kristen Katolik.
Raja
Loloda’Mokoagow diganti Raja Jacobus Manoppo (1689-1731) yang sebelumnya naik
tahta sesudah memeluk agama Katolik. Secara estafet agama Katolik menjadi pula
agama 9 raja yang silih berganti sesudah raja Jocobus Monoppo.
Kesembilan
raja itu masing-masing : Jocobus Manoppo, Fransiscus Manoppo, Solomon Manoppo,
Manuel Manoppo, Ismail Cornelis Manoppo dan Jocobus Manuel Manoppo. (tambah
3 raja lagi)
Dalam
kurun waktu 1½ abad itu tidak nampak perkembangan agama Islam yang pernah
dianut oleh Raja Loloda Mokoagow. Yang
ada hanya agama Kristen Katolik dan kepercayaan animisme dan dinamisme. Oleh
sebab itu kalau ada yang mengatakan
bahwa agama Islam masuk di Boloaang Mongondow sejak masa pemerintahan
Raja Loloda’Mokoagow tahun 1653 sebagaimana yang dinyatakan beberapa penulis
maka secara kenyataan sejarah memang tidak dapat dibantah.
Akan
tetapi dalam hal masuk dan berkembangnya agama Islam dalam arti yang luas,
belum dapat dijadikan pegagangan sebagai titik tolak masuknya agama Islam di
Bolaang Mongondow. Apalagi pada saat raja Loloda’ Mokoagow (Datu Binangkang)
masuk agama Islam hanyalah diperoleh dari kontak-kontak hubungan yang baik
dengan Sultan Ternate pada saat ia masih menguasai Daerah Minahasa dan Manado
yang saat itu sudah sepenuhnya memeluk agama Kristen Katolik.
Barulah
pada masa pemerintahan Raja Jacobus Manuel Manoppo (1833-1858) maka di
pedalaman Bolaang Mongondow sudah terbentuk semacam desa-desa tempat pemukiman
yang rumah-rumah penduduknya sudah saling berdekatan yang disebut Lipung
seperti Lipung Kotobangon, Lipung Moyag, Lipung Kope dan lain-lain yang
lama-kelamaan menjadi Lipu’ atau desa/kampung.
Maka
di Lipung Simboy Tegadan sekarang Kelurahan Motoboi Kecil Kecamatan Kotamobagu
sudah ada sekelompok masyarakat yang memeluk agama Islam. Konon pembawa pertama
agama Islam ke Lipung Simboy Tagadan itu adalah suatu tim dari daerah Gorontalo
pimpinan Iman Tueko dimana dalam tim yang disebut tim 9 ini terdapat seorang
yang bernama Datao yang segera melanjutkan penyebaran agama Islam ke lipung
tetangga yaitu lipung Linow yang sekarang bernama Kelurahan Molinow yang
kemudian kawin dan beroleh keturunan. Panggilan kepada Datao ini oleh
masyarakat Molinow lama berubah menjadi Detu yang hingga kini merupakan
salah satu marga besar di kelurahan itu. Dan seorang lagi bernama Eato mendapat tugas menyebarkan agama
Islam di Kotabunan pada periode selanjutnya dan kawin dan beroleh keturunan di
wilayah itu.
Didalam
team tersebut terdapat pula seorang gadis cantik jelita, puteri kandung dari
Hakim Bagus ini, yang fasih membaca ayat-ayat suci Alquranul Karim dan pandai
melagukan zikir-zikir, burudah dan qasidah-qasidah dengan suaranya yang sangat
merdu.
Juga
terdapat seorang budak (Ata) lelaki yang dibawah dari Gorontalo untuk
dipersembahkan kepada Raja Bolaang Mongondow disertai beberapa buah rebana
sebagai alat kesenian pengiring lagu-lagu zikir, berudah dan qasidah.
Pada
suatu hari Iman Tueko menghadap raja melapor kedatangan mereka seraya
mempersembahkan Ata (budak) yang dibawa dari Gorontalo kemudian memohon
kesedian Raja Jacobus Manuel Manoppo kiranya berkenan menyaksikan pagelaran
kesenian yang sudah dipersiapkan dengan matang.
Ketika
menyaksikan pagelaran kesenian Islam itu Raja Jacobus terguncang hatinya
mendengar suara putri Imam Tueko yang bernama Kiling (Kilingo) yang begitu
merdu dan mengharukan takkala membaca ayat-ayat suci Alqur’an sebagai pembukaan
pagelaran kesenian Islam yang terdiri dari : zikir, berjanji, burudah dan
qasidah. Akhirnya rasa jatuh cinta kepada gadis Kiling sehingga sang raja tak
kuasa lagi membendung niatnya untuk melamar putri Kiling sebagai permaisuri.
Lamaran itu diterima ayahnya Imam Tueko dengan syarat raja lebih dahulu Masuk
Islam. Persyaratan itu dipenuhi raja dan saat itu juga raja Jacobus Manuel
Manoppo mengucap ‘dua kalimat syahadat’ yang artinya “aku bersaksi tiada Tuhan
yang patut disembah selain Allah dan Nabi Muhammad itu pesuruh Allah”, sebagai
bai’at atau pengakuan seseorang yang masuk agama Islam.
Karena
raja telah berganti agama dari agama Kristen Katolik menjadi agama Islam maka
ia segera berangkat ke Manado menghadap residen untuk melapor diri bahwa ia
sudah keluar dari agama kristen Katolik dan masuk agama Islam. Ia menanyakan
apakah residen tidak keberatan jika
orang-orang Kristen di Bolaang Mongondow beralih menjadi pemeluk agama Islam?
Dalam hubungan ini residen menyatakan
bahwa baginya rakyat masuk agama Islam atau masuk agama Kristen sama
saja, yang penting raja dan rakyatnya harus memperlihatkan kesetiaan kepada
Ratu Belanda. Dan karena raja sudah menjadi Islam maka residen memberi gelar
Sultan dengan sebutan Sultan Jacobus.
Permulaan Masuknya Agama Islam
di Gorontalo.
Tentang
masuknya agama Islam ke Gorontalo, ada beberapa pendapat yang sama antaranya
M.H. Lipoeto berpendapat bahwa akibat adanya perkawinan raja Gorontalo yang
bernama Amai dengan puteri raja Gumondjolo di Palasa yang bernama Owutango.
Perkawinan ini diikat oleh suatu syarat sebagai permintaan puteri Owutango,
bahwa raja Amai serta rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan adat kebiasaan
dalam masyarakatnya harus Alqur’an. (M.H.Lipoeto : 1949). Pendapat ini sesuai
pula dengan penjelasan A.Nadjmuddin dan Monu Kaluku, bahwa masuknya Islam ke
Gorontalo adalah dengan perantaraan perkawinan tersebut. Perkawinan itu terjadi
karena adanya kunjungan raja Gorontalo (Amai) ke Tominibocht (Tomini, Posso,
Sulawesi Tengah) yang hendak bertemu dengan daerah-daerah diteluk Tomini.
Perkunjungan ke Tominibocht itu telah berlaku sejak raja-raja sebelum Amai,
antaranya pad tahun 1430 raja Gorontalo yang bernama Walango berangkat kesana
untuk mencari rakyat (K. Kaluku : tt). Kemudian raja Polamolo yang menggantikan
berangkat pula kesana dan kawinlah di daerah tersebut.
Dalam
pertemuan Amai dengan puteri Raja Gumondjolo timbulah hasrat untuk mengawininya
itu dapat dilangsungkan setelah melalui suatu persyaratan sebagai yang dikemukakan oleh H.M. Lipoeto diatas.
Adanya perkawinan dengan persyaratan suci itu maka konsekwensinya, raja Amai,
rakyat Gorontalo beserta adat istiadatnya harus diislamkan secara
berangsur-angsur.
Usaha-usaha
untuk mengislamkan rakyat Gorontalo telah dimulaikan oleh raja Amai sejak
kembalinya dari Palasa pada tahun 1525 dan dilanjutkan oleh puteranya yang
memerintah, sejak tahun 1563 sampai 1589 yakni raja Motolodulakiki, atau dalam
buku Perjuangan Rakyat di Gorontalo
(1981), disebutkan bahwa periode Raja Motolodulakiki (1550-1585).
Dalam
buku masuknya agama Islam di Sulawesi Utara karangan Taulu H.M. digambarkan
sebagai berikut: Menurut Richard Tacco (R. Datau) dalam bukunya “Het volk van Gorontalo” bahwa raja
Gorontalo yang pertama-tama memeluk agama Islam setelah masuk ke Teluk Tomini,
yaitu Palasa, yang merupakan wilayah cakupan kerajaan Gorontalo. (dikritisi...).
Sewaktu
raja Amai mengadakan peninjauan di daerah-daerah taklukannya di teluk Tomini,
diperolehnya kabar bahwa Raja Palasa yang bernama Bonenato mempunyai seorang puteri cantik bernama Owutango, yang telah taat memeluk agama
Islam.
Pada
suatu malam Raja Amai berkunjung ke rumah puteri Owutango untuk meminangnya. Puteri Owutango tidak keberatan asalkan
Raja Amai terlebih dahulu masuk agama Islam, dan apabila telah mendapat anak,
maka anak itu harus diislamkan, begitu pula rakyat Gorontalo.
Syarat
yang diajukan oleh Puteri Owutango ini disetujui oleh raja Amai, dan
perkawinanpun dilangsungkan. Setelah perkawinan tersebut, puteri Owutango
dibawah oleh raja Amai ke Gorontalo pada sekitar tahun 1525. Di Gorontalo
kemudian didirikannya Masjid yang pertama yaitu masjid Hunto di Biawu.
Dalam
perkawinan Raja Amai dengan Puteri Owutango lahirlah seorang anak yang diberi
nama Matolodulahu (Motolodulakiki?)
yang kemudian menjadi raja Gorontalo. Matolodulahu kemudian mulai memajukan dan
memupuk agama Islam sekitar tahun 1563. Dalam tahun 1566 (1565?) agama Islam
diremikan sebagai agama Kerajaan di Gorontalo.
Dari
Gorontalo, agama Islam disebarkan kedaerah-daerah antara lain di kerajaan
Limboto. Agama Islam dimasukkan oleh Tutu
Tomito, dan di Suwawa oleh Samidun yang
keduanya masuk agama Islam di Taulaa Paguyaman. Di kerajaan Suwawa agama Islam
diresmikan menjadi agama Kerajaan oleh Raja
Mooluade dan selanjutnya dikembangkan oleh Raja Lahai.
Raja
Amai sebelum memeluk agama Islam adalah beragama Alifuruh (animisme-mistik).
Setelah Raja Amai meninggal, ia digantikan putranya Motolodulakiki kemudian setelah itu diperintah oleh Eato dari tahun 1673-1779. Sedang
Raja Amai memerintah dari tahun 1525- 1568 (wawancara dengan Prof. Ibrahim
Polontalo). Raja Amai meninggal karena sakit tua (udzur).
Proses, Cara dan Jalur
Penyebaran Islam
Minahasa
Dalam
penyebaran Islam di Minahasa, daerah Belang harus dilihat terlebih dahulu. Di
daerah inilah yang hingga kini ditemukan artefaknya sebagai wilayah kedatangan
Islam pertama di Minahasa. Meskipun harus diakui ada kesan yang kuat bahwa
Islam di Minahasa identik dengan “Jawa Tondano”. Deskripsi Islam Belang !!!
Dalam pengembangan Islam di Minahasa khususnya
Tondano tidak bisa dilepaskan dari upaya dan kehadiran “Kiai Mojo” sekitar
tahun 1825 -1830 sebagai salah seorang ulama sekaligus sebagai pejuang
kemerdekaan dalam membebaskan negara RI. dari belenggu penjajahan. Kiai Mojo
dan pengikut-pengikutnya, pada pembuangan di Minahasa pertama kali ditempatkan
di Kaburukan sebuah tempat sebelah selatan Kema, kemudian dipindahkan ke
sebelah Utara yaitu daerah yang bernama Tasika Oki (Tanjung Merah), namun
ternyata mereka minta dipindahkan lagi. Pihak Belanda menempatkan mereka di
Lojo (sekarang ini dibangun kantor Bupati Minahasa). Dari sini dipindahkan lagi
kesebelah Barat Kali Tondano yang bernama Kawak yang letaknya dibelakang Masjid
Tegal Rejo sekarang.
Dikampung
inilah yang dikenal “kampung Jawa Tondano” atau lebih populer disebut kampung
jawa atau “Jaton”, sebagai tempat Islam pertama yang dikembangkan oleh “kiai
Mojo” dan kawan-kawannya, dengan proses dan cara-cara: (1). Melalui jalur
perkawinan dan (2) melalui jalur kesenian yang dikenal dengan “Slawatan
Melayu”.
Slawatan Jowo sebagai salah satu
kesenian daerah yang sudah dimiliki oleh Kiai Mojo tidak lepas turut dibawa dan
dikembangkan di Kampung Jawa ini. Kiai Mojo adalah seorang ulama yang terkenal
dari daerah Mojo (Solo). Baliau adalah seorang penasehat keagamawan Pahlawan
Dipanegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada tujuan perjuangan rakyat
pada abad ke-19. Sebelum perang Dipanegoro (1825-1830) pecah beliau sudah
berkenalan dengan pahlawan Dipanegoro. Segera setelah perang pecah, maka beliau
sekeluarga datang dan berpihak kepada pahlawan Dipanegoro untuk bersama-sama
beliau mengabdikan dirinya kepada peperangan kemerdekaan yang suci. Karena tipu
muslihat Belanda beliau dapat tertangkap dan kemudian dibuang ke daerah Tondano
di Minahasa (Sulawesi Utara) beserta beberapa orang lainnya antara lain putra
beliau sendiri yang bernama Kiai Gazali
dan seorang saudara beliau yang bernama Embah
Sepuh Baderan. Kiai Mojo wafat dalam pembuangan di Minahasa pada tanggal 20
Desember 1849 jatuh pada hari Kamis Pon,
5 Sura tahun Djimakir 1776 (4
Muharram 1266). Beliau dimakamkan dipekuburan Tondata di Tondano (Minahasa)
(Sagimun MD : tt).
= Manado =
Selanjunya, menurut A.E.Rompas
dan A.Sigarlaki dalam Sejarah Masuknya
Islam di Kota Manado (1982) mengenai proses cara dan jalur penyebaran agama
Islam di Manado yang merupakan bagian dari Minahasa ketika itu dapat dicatat
sebagai berikut :
Setelah agama Islam masuk di Manado pada tahun 1684,
bersamaan dengan datangnya buruh-buruh yang dibawah oleh kompeni Belanda dengan
maksud untuk mendirikan barikade/benteng-benteng pertahanan yang dibuat dari
kayu, dan buruh-buruh ini kebanyakan pemeluk Islam.
Menurut
beberapa informasi yang diperoleh penelitian Rompas dan Sigarlaki (1982)
beberapa daerah/tempat yang pertama sekali dijadikan sebagai tempat masuknya
Islam di Manado adalah daerah Pondol,
yang dikenal sekarang Jln. Sam Ratulangi
yang sebelah utara dibatasi Gereja
Pantekosta Pusat Manado. Daerah ini sedianya merupakan transit bagi setiap pendatang di
daerah Manado, khususnya bagi yang datang ketika itu menggunakan perahu layar.
Pada
perkembangan berikutnya, penyebaran Islam makin terasa setelah hadirnya
beberapa pejuang perintis kemerdekaan yang diasingkan oleh kompeni Belanda,
sebagai bentuk taktis perang yang dikembangkan oleh pemerintah Kolonial
Belanda, dengan pertimbangan situasional bahwa umat Islam semakin hari semakin
bertambah dengan terjadinya assimilasi baik lewat pertautan perkawinan maupun
lewat kontak-kontak dagang dengan penduduk setempat. Bagi kolonial Belanda
timbul kekhawatiran akan terjadinya pemberontakan dan gejolak dari kaum
Muslimin. Kekuatan semangat juang dan perlawanan, spirit Jihad, pada diri
kalangan Islam sangat dipahami Belanda. Itulah sebabnya mengapa pemerintah
kolonial Belanda memberikan suatu tempat pemukiman bagi penduduk pemeluk Islam
agar mereka mudah dikordinir, yang sekarang dikenal dengan nama kampung Islam, dikampung inilah pertama
sekali dibangun tempat peribadatan yakni masjid yang diberi nama Masjid Awwal Fathul Mubin tahun 1774
(atau, 1760).
Kampung
Islam merupakan star awal (meskipun) secara perlahan-lahan Islam berkembang
dengan semakin banyaknya pendatang-pendatang yang sekaligus mereka
berkawin-mawin dan menetap di Manado. Akumulasi pendatang, pola pemukiman dan
kultur pendatang yang komunalistik bisa dimengerti merupakan pemicu signifikan
berkembangnya komunitas Islam saat itu. Perkuat lagi dengan data, wawancara,
deskripsi sosiologi pemukiman dan penyebaran Islam
=Sangihe Talaud=
Berdasarkan
fakta sejarah, dan didukung oleh literatur yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas serta sesuai dengan kondisi obyektif yang ditemukan dilapangan, maka
dalam usaha penyebaran agama Islam di Sulawesi Utara pada umunya dan khususnya
di kepulauan Sangihe Talaud, dapat dikemukakan sebagai berikut bahwa Proses penyebaran agama Islam didaerah ini
telah memakan waktu yang cukup panjang, kurang lebih berlangsung selama 5
abad). Rentang waktu yang kurang lebih lima (5) abad itu dapat dikatakan
berlangsung secara manual yang artinya tampa terprogram secara jelas untuk
menetapkan langkah-langkah, daya dukung sarana dan prasarana, dengan strategi
dan metode yang relevan, dan tugas suci ini tidak pula dibebankan pada suatu
organisasi tertentu, sehingga dengan demikian, terlalu sulit bagi kita untuk
menentukan seberapa jauh hasil yang bisa diukur. Tapi, suatu hal yang pasti,
bahwa agama Islam telah dipeluk oleh sebahagian penduduk yang mendiami
kepulauan Sangihe dan Talaud dan kenyataannya semakin hari semakin tumbuh dan
berkembang.
Menurut H.M Taulu (1977), bahwa terbukanya
jalur perdagangan rempah-rempah, seperti cengkih, pala dan lada telah membuka
peluang bagi bangsa-bangsa luar antara lain bangsa Eropa untuk berhubungan
dengan negeri penghasil utama komoditi tersebut, khusunya bangsa Indonesia.
Pedagang-pedagang berkebangsaan Arab termasuk bangsa yang gigih dan tekun
mencari daerah asal penghasil utama rempah-rempah itu. (adakah kp Arab??)
Fakta
sejarah membuktikan, bahwa daerah-daerah yang mereka kunjungi tercatat seperti
Aceh, Bantam, yang mana daerah ini sebagai penghasil lada, selanjutnya melalui Cirebon, Demak, Gresik, akhirnya
mereka sampai di Maluku dan Ternate, sebagai daerah-daerah utama penghasil
cengkih dan pala. Pusat perdagangan pala dan cengkih pada waktu itu adalah Ternate
(Maluku Utara). Sejak itu Ternate dikenal sebagai pusat pengembangan agama
Islam di Maluku Utara dan sekitarnya. Disamping itu, Kesultanan Ternate
mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap daerah-daerah sekitarnya, termasuk
daerah Sangihe Talaud. Maka tidak mengherankan kalau di Satal ada kampung
bernama “Kampung Tidore”, yang penghuninya mayoritas Islam (asli) Maluku..
Menurut
Adriani, N (1932), daerah Gorontalo (Hulontalo), Limuto (Limboto), Bone,
Bualemo dan Atinggola termasuk daerah yang pernah ditaklukan dan dikuasai oleh
Kesultanan Ternate, juga Buol dan Toli-Toli.
Menurut
Richard Tacco (1935), daerah Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, yang kemudian
disatukan dengan kerajaan Kaidipang, pada tahun 1912, ditaklukan dan
dikuasai oleh Kesultanan Ternate. ( penguasaannya,aca H.T.Usup).
Selanjutnya
Dunnerbier, W (1951) mengemukakan, bahwa kepulauan Sangihe dan Talaud juga di
bawah kekuasaan dan pengaruh Kesultanan Ternate. Yang cukup menarik untuk
diungkapkan adalah pernyataan
Ds. Valentijn yang dikutip oleh Zeimerman, A (1919) mengatakan: “Raja-raja Ternate dalam menaklukan
wilayah-wilayah jajahan tersebut, adalah dalam rangka “penyebaran agama Islam”,
sebagai ajaran baru yang harus ditanamkan dengan kuat pada wilayah jajahan
tersebut”.
Dari
uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa penyebaran agama Islam di kepulauan
Sangihe-Talaud, tidaklah dapat dilepaskan dari pengaruh Kesultanan Ternate,
meskipun dilain pihak adanya usaha-usaha perorangan antara lain seperti yang
dilakukan oleh para pedagang Arab yang mendatangi daerah kepulauan Sangihe -
Talaud itu.
Satu
hal yang tak boleh dilupakan adalah mengenai strategi yang diterapkan oleh
Kesultanan Ternate dalam usaha penyebaran agama Islam di daerah yang
dikuasainya antara lain melalui pendekatan pengaruhnya terhadap para penguasa
setempat, yang disebut para “kulano” (pemuka) atau tokoh masyarkat, sebagaimana
diungkapkan oleh HM Taulu (1977): Kesultanan
Ternate yang dijumpai oleh para pedagang rempah-rempah tersebut terdiri dari
pada beberapa “kulano” yang merupakan kesatuan integral dengan Kesultanan
Ternate. Dengan demikian tidaklah mengherankan, kalau sebagian besar
penguasa daerah yang takluk dibawah pengaruh Kesultanan Ternate pada waktu itu,
adalah sebagai pemeluk agama Islam meskipun pada akhirnya sebagian mereka tidak
mampu bertahan karena besarnya pengaruh dari luar, seperti pengaruh dari
Zending, missionaris, para penginjil, atau karena bujukan kekuasaan dari
penjajah kolonial. (Buktikan secara ilmiah bagaimana pengaruh timbal balik Islamisasi
Vs Zending)
Usaha-usaha
untuk membatasi ruang gerak dan langkah maju umat Islam ternyata tidak hanya
ditujukan kepada para kulano/penguasa Muslim, tapi juga umat/pemeluk Islam. Hal
ini dapat terlihat dengan jelas, sebagaimana diungkapkan oleh H.M. Taulu
tentang usaha penginjilan di Bolaang Mongondow, di Gorontalo dan sekitarnya.
Hal serupa juga diungkapakan oleh D.Brilman (1938) tentang missi Zending di
kepulauan Sangihe - Talaud. (lihat HM
Taulu dalam Langkah-Langkah Sejarah Penginjilan ke Sulawesi Utara Terbitan
Yayasan Membangun, Manado, Akte Notaris No.5 tertanggal 12-1-52, BAB.XXXIX. h.44 dan BAB XL.
H.48-49. Lihat juga D. Brilman dan wilayah-wilayah Zending kita Zending di
kepulauan Sangihe - Talaud, Terbitan Badan Pekerja Sinode Gereja Masehi Injili
Sangihe - Talauud, 1986, h. 182.)
= Bolaang Mongondow =
Awal
masuknya Islam ke Istana Raja Bolaang Mongondow adalah melalui proses kontak
dagang dengan kesultanan Ternate maupun Kesultanan lain yang ada di Indonesia
Timur seperti Kerajaan Gorontalo dan. Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Ini
terbukti dengan berhasilnya salah seorang saudagar dari Bugis, Sulawesi
Selatan, yang bernama Andi Latai mempersunting puteri Raja Eugenius Manoppo
yang bernama Bu’a Hontinimbang yang
cantik rupawan, perkawinan ini dapat terlaksana karena Andi Latai dapat
memenuhi biaya perkawinan yang sangat mahal sebagai persyaratan yang telah
ditetapkan oleh Raja-raja yang mengizinkan puterinya Bu’a Hontinimbang dinikahi
secara agama Islam dengan meninggalkan agamanya Kristen Katolik (Z.A. Lantong,
1981). (lanjutkan ceritanya, mengapa Katolik begitu kuat menguasai kerajaan
dahulu, kutip pendapat Arifin Assegaf...)
Kedatangan
Andi Latai ke Sulawesi Utara adalah memimpin perahu-perahu Bugis yang membawa
barang-barang dagangan dan mereka banyak terlibat dalam pertempuran di laut
melawan bajak-bajak laut yang jumlahnya cukup banyak. Terpaksa Andi Latai
memerintahkan armadanya berlabuh di pantai Bolaang dan memohonkan
perlindungan dari raja Eugenius Manoppo, dan akhirnya mereka mendapat sambutan
baik.
Pada
masa itu perairan laut Sulawesi dan Maluku berkeliaran banyak perampok-perampok
(bajak laut) yang selalu mencari mangsa terutama saudagar-saudagar yang membawa
barang dagangan.
Dalam
kurun waktu antara masuknya agama Islam pada saat pemerintahan raja Eugenius
Manoppo (tahun 1770) dan kebangkitan syi’ar agama Islam pada masa pemerintahan
Sultan Jacobus Manuel Manoppo (tahun 1833), selama ± 70 tahun, maka
perkembangan agama Islam belum banyak kemajuannya. Agama Islam yang terdapat
dipesisir-pesisir pantai Utara dalam hal ini kecamatan Bolaang dan
sekitarnya, sedangkan di dalam Islam terdapat dualisme, dimana Raja Eugenius
Manoppo tetap juga pada agamanya Kristen Katolik, namun ia tidak melarang anak
mantunya Andi’ Latai untuk mengajarkan mengaji serta pengetahuan-pengetahuan
lainnya tentang agama Islam kepada isteri, anak-anak dan cucunya.
Kemudian
Andi Latai kembali aktif bolak-balik antara Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan
membawa barang-barang daganganya. Sampai seorang cucunya (laki-laki) dipandang berbakat dalam agama
Islam, yang bernama Andi Panungkelan (Abraham
Sugeha), lebih memperdalam pelajaran-pelajaran agama Islam di Bugis. Andi
Panungkelan (Abraham Sugeha) ini akhirnya menjadi seorang ulama Besar. Kenapa
namanya (Panungkelan-Sugeha) jadi berubah
Kisah
dan proses “Islamisasi Bolaang Mongondow” lainnya mengatakan sebelum tim 9 yang
dipimpin Iman Tueko (dari Gorontalo) masuk menyebarkan agama Islam di Bolaang
Mongondow, maka selama kurang lebih 6 tahun yaitu dalam masa pemerintahan Raja
Cornelus Manoppo yang berakhirnya pada tahun 1823 hingga masa pemerintahan Raja
Ismail Manoppo yang berakhir pada tahun 1929 ada semacam kegiatan survey yang
sengaja dikirim dari Gorontalo untuk mempelajari situasi, kondisi dan sosial
budaya di kerajaan Bolaang Mongondow. Tim survey ini langsung masuk kepedalaman
Bolaang Mongondow dan sengaja tidak singgah di istana raja di Desa Bolaang
karena mereka tahu disana sudah ada benih-benih Islam yang disemaikan Andi
Latai walaupun belum berhasil meng-Islamkan raja.
Survey
meliputi sosial budaya terutama adat istiadat karena di kerajaan Bolaang
Mongondow terdapat pembagian masyarakat dalam 5 kasta atau kelas yaitu: (1).
Raja-raja, (2). Bangsawan dengan panggilan
Abo’ untuk laki-laki dan Bua’ untuk perempuan, (3). Kohongian dengan ‘panggilan
baik’ untuk perempuan, (4). Simpal atau rakyat kebanyakan yang juga biasa
disebut Tuangilipu’, (5). Nonow/Tahig/Jobuat yaitu kasta yang paling rendah
yang dapat diperjual belikan sebagai Ata’ atau budak belian.
Untuk
golongan raja laki-laki disebut Abo’ Moloben dan perempuan disebut Boki’.
Hal-hal penting yang berhasil didapat tim survey dari Gorontalo antara lain:
Pertama, raja-raja Bolaang Mongondow pada umumnya merasa gembira bila ada tamu
dari daerah lain yang mempersembahkan Ata’ atau budak karena hal tersebut
merupakan simbol pengakuan kebesaran dan kemuliaan raja oleh kerajaan atau
daerah lain; Kedua, raja gemar
hiburan yang saat itu baru terbatas pada lagu-lagu dan tari-tarian yang selalu
dikaitkan dengan pemujaan roh-roh halus atau Dewata seperti Tari Tayok, Tari
Aembu dan Tari Bondit. Ketiga, raja
mudah mengagumi gadis-gadis yang pintar terutama yang berwajah cantik; Kelima, rakyat Bolaang Mongondow sangat
patuh dan setia terhadap segala titah dan perintah raja; Keenam, seluruh rakyat percaya bahwa siapa yang melawan pemerintah
raja selain mendapat hukuman sesuai hukum adat yang berlaku juga akan butungan
atau kena kutut yang disebut morondi-rondi’
na’ biung atau hitam seperti arang, dumarag
na’ kolawag atau kuning seperti kunyit, yumuyow
na’ simuton atau mencair seperti garam, tumonop
na’ lnag atau seperti air hujan dititiran atap yang diserap tanah, kimbuton in tolog atau ditelan arus air
dan dorotan in montoyanoi atau
disambar roh Dewata.
Oleh
sebab itu setelah tim survey kembali ke Gorontalo diadakan persiapan yang sudah
matang yang sasarannya untuk meng-Islamkan Raja Bolaang Mongondow yang saat itu
dijabat Raja Jocobus Manuel Manoppo.
Untuk
itu maka dibentuklah tim yang terdiri dari 9 orang dibawah pimpinan Iman Tueko
yang dilengkapi dengan seorang ata’ (budak) dan seorang gadis cantik putri Iman
Tueko bernama Kiling dan Kilingo yang pandai mengaji dan menyanyikan lagu-lagu
qasidah sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
Sebenarnya
ketika Raja Jocobus Manuel Manoppo (1853-1856) masuk Islam ia telah
menyampaikan permohonan kepada Residen agar di Kerajaan Bolaang Mongondow dapat
didatangkan ulama Islam untuk mendidik warga istana dan rakyatnya. Permohonan
itu dikabulkan tetapi nanti pada tahun 1860 masa pemerintahan Raja Adrianus
Cornelis Manoppo barulah tiba seorang ulama dari Mekkah, seorang Ustaz bernama Syek
Abdul Latief Reziek Makki dari Mazhab Syafii. Karena ulama inilah sehingga
umat Islam di daerah Bolaang Mongondow pada umumnya menjadi pengikut Mazhab
Syafii.
Setelah
Raja Jacobus Manuel Manoppo masuk agama Islam dan sudah beroleh gelar “Sultan”
dari Residen, maka dibangunlah mesjid pertama di Desa Bolaang dimana
dalam mesjid itu sekaligus berfungsi sebagai Pesantren tempat pendidikan
anak-anak Bolaang Mongondow, desa demi desa mulai di Islamkan, seperti
desa-desa Kotabangun, Moyag, Biga’, Gogagoman dan lain-lain desa sehingga pada
masa pemerintahan Raja Abraham Sugeha (tahun 1880-1892) agama Islam sudah
tersebar di seluruh pelosok Kerajaan Bolaang Mongondow.
Beberapa
ulama agama Islam membantu penyebaran agama Islam terus didatangkan dari
Gorontalo di Kerajaan Bolaang Mongondow, sehingga semua perangkat di
masjid-masjid seperti Iman, Chatib, Syekh, semuanya memakai nama sebutan
Gorontalo, yakni : Chatibi, Sehe. Begitupun
nama Syara’a itu berasal dari bahasa
Gorontalo.
= Gorontalo =
Sejak
penyebaran Islam oleh raja Amai maka diadakan usaha-usaha untuk secara
berangsur-angsur menyesuaikan adat dengan ajaran Islam serta mulai dengan
menghapuskan adat-adat yang tidak sesuai lagi dengan kebiasaan-kebiasaan yang
sesuai dengan ajaran Islam. Kebiasaan-kebiasaan tersebut telah dimulai dalam
lingkungan keluarga raja sendiri, kehidupan putera-puterinya, cara makan,
berpakaian serta pergaulan diaturnya secara Islam pula.
Raja
Amai adalah seorang raja Gorontalo yang suka memajukan agama, politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan dan kesenian. Semua kebiasaan yang masih berbau animisme
dihilangkan secara berangsur-angsur dan dipilihlah dari sekian “perkawinan
kebiasaan”.
Pada
saat Raja Amai mengawinkan puteri-puterinya, yaitu Ladihulawa dan Telebutio,
diadakan pesta Moliango yang telah disesuaikan dengan tuntutan agama Islam. Moliango
merupakan pesta menjelang perkawinan dan biasanya berlangsung paling cepat
sebulan dan paling lambat enam bulan.
Pesta-pesta
tersebut menjadi alat perantara bagi Raja Amai untuk menyebarluaskan
ajaran-ajaran Islam, serta menghilangkan apa yang tidak sesuai dengan
ajaran-ajaran tersebut. Dengan demikian pesta Moliango telah mengalami pula
“pembersihan” dari unsur-unsurnya yang bertentangan dengan agama Islam.
Permainan judi, menyabung ayam, minum-minuman yang memabukkan diganti dengan pesta
Moliango yang mengandung pendidikan yang dapat menarik minat para pemuda dan pemudinya maupun golongan
tuanya. Dengan cara demikian terciptalah adat-istiadat yang bersendikan hukum
Islam.
Setelah
pesta Moliango ini berlangsung sebulan atau enam bulan, maka pada malam
terakhir menjelang esoknya perkawinan, dimainkan tidi lo polopalo
sebagai acara resmi. Acara permainan tidi
lo polopalo sebagai pengganti tari Gaimbu dalam pesta Moliango, timbul
nanti pada saat Raja Amai mengadakan pesta Moliango untuk kedua puterinya.
Tidi lo polopalo yang merupakan
pengganti tari Gaimbu yang hanya mengandung unsur hiburan saja, adalah
satu-satunya tarian yang mengandung unsur pendidikan. Itulah pendidikan pertama
yaitu pendidikan perasaan yang berdasarkan atas ajaran Islam yang disalurkan
oleh Raja Amai melalui (tari) tidi
tersebut. Pendidikan yang terkandung didalamnya menjaga kehormatan diri, serta
cara cinta terhadap sesama manusia yaitu
perasaan kemanusiaan, rasa tanggung jawab serta cinta alam rumah tangga
sendiri, dan masyarakat sekitarnya.
Menurut
Raja Amai, tidi itu adalah merupakan alat dalam pendidikan menuju kearah
peningkatan derajat kaum wanita sehingga sederajat dan sama haknya dengan kaum
pria. Hal itu telah dinyatakan Raja Amai dalam permainan tidi lo polopalo
dengan adanya lat polopalo sebagai senjata dalam membela serta mempertahankan
hak dan kewajiban dari suaminya maupun dari masyarkat sekitarnya.
Didalam
permainan tidi lo polopalo, telah terkandung pula ajaran agama Islam antara
lain bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan adalah mempunyai hak dan
kewajiban yang sama, sederajat tampa perbedaan kasta dan golongan, mengabdikan
diri kepada sesamanya. Perbedaan tingkat derajat kemanusiaan dalam masyarkat
bukanlah terletak kepada perbedaan darah dan keturunan, tetapi letaknya kepada
kemurnian dan keluhuran budi seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kemurnian
dan keluhuran budi hanyalah ternyata dalam amal perbuatan yang baik terhadap
sesama manusia. Hal inilah yang menjadi tujuan dan akan diwujudkan oleh Tidi lo
polopalo dengan melalui pendidikan agama Islam. Makanya tidi tersebut
mengandung unsur pengabdian terhadap sesama manusia, sebagai salah satu
perintah dalam agama Islam. Dan merupakan pengabdian secara tidak langsung
terhadap Tuhan.
Hukum
syarak telah dirintis oleh Amai maharaja utara yang ke 2 tahun 1523? (Lipoeto M
1950, XII : 14), dengan pendirian : Saraa
topa-topanga to adati (=syarak yang bertumpu pada adat). Yakni hukum syarak
berlaku jika dapat disesuaikan dengan adat. Ia membuat pencatatan wuudu sebanyak 182 pasal. Dapat
dikatakan bahwa derajat adat lebih tinggi dari pada syarak.
Faktor Penghambat dan Pendukung
Penyebaran Islam
Faktor
penghambat dan pendukung bagi masuk dan berkembangnya agama Islam di Sulawesi
Utara pada umunya tidak jauh berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya,
misalnya antara Minahasa dengan Bolaang Mongondow. Karena itu maka berikut ini
penulis hanya mengemukakan salah satu dari daerah-daerah yang terdapat di
Sulawesi Utara yakni daerah Bolaang Mongondow sebagai berikut:
= Faktor Penghambat =
Zending
Kehadiran pendeta W. Dunebier dari Belanda yang
juga adalah seorang ahli antropologi yang membangun markasnya di Desa Sia’
kecamatan Passi merupakan ujian berat terhadap kelanjutan perkembangan agama
Islam di kerajaan Bolaang Mongondow. Betapa tidak karena pendeta yang
antropolog ini dalam waktu singkat telah dapat berbahasa Mongondow dengan fasih
dan lancar serta berhasil menerjemahkan Alkitab dan buku-buku pelajaran agama
Kristen ke dalam bahasa Mongondow. Ia juga berhasil membuat buku berbahasa
Mongondow berjudul; O’uman in mogoguyang
atau cerita orang-orang tua (Dongeng Mongondow. Kesusastraan daerah seperti
Mongondow-Belanda. Kesemuanya ini merupakan daya tarik yang paling ampuh kepada
putera-putera asli Bolaang Mongondow terutama bagi sisa-sisa penganut
kepercayaan animisme dan dinamisme dan orang-orang yang sudah masuk Islam tapi
imannya masih tipis. Apalagi pelaksanaan ibadah dalam agama Kristen yang
disebarkan pendeta Dunebier itu langsung menggunakan bahasa Mongondow sehingga
lebih cepat dimengerti rakyat pada umumya; apalagi karena mereka masih buta
huruf dibandingkan masuk agama Islam yang dalam bersembahyang harus menggunakan
bahasa Alqur’an atau bahasa Arab.
Pada
tahun 1906 ia berhasil mendatangkan guru-guru Zending dari Minahasa untuk
membuka persekolahan di Bolaang Mongondow. Dalam tahun itu juga berhasil
didirikan 14 sekolah di 14 desa dengan guru-gurunya sebagai berikut :
1. Tanggal 14 Juli 1906 sekolah Zending di Desa Nanasi
dengan guru J. Rondonuwu dan S.Sondakh.
2. Tanggal 17 Juli 1906 sekolah Zending di Poopo dan
Nonapan dengan guru H.Werung dan A.Rombot.
3. Tanggal 17 Juli 1906 sekolah Zending di Mariri Lama
dengan guru F.Tampewama dan K.Palapa.
4. Tanggal 30 Juli 1908 sekolah Zending di Kotobangun
dengan guru J.Pandegirot dan Tumbelaka.
5. Tanggal 1 Agustus 1906 sekolah Zending di Moyag
dengan guru Mandagi dan P.Assa.
6. Tanggal 2 Agustus 1906 sekolah Zending di Pontodon
dengan guru J.Ngongoli, M.Tombokan dan W.Tandayu.
7. Tanggal 3 Agustus 1906 di Desa Passi dengan guru
Th.Kawuwung dan W.Wuisan
8. Tanggal 4 Agustus 1906 di Poopo dengan guru
S.Saraingsong dan J.Mandagi
9. Tanggal 6 Agustus 1906 di Desa Otam dengan guru
J.Kodong dan Supit.
10. Tanggal 7 Agustus 1906 di Motoboi Besar dengan guru
A.Kuhu dan S.Mamesah serta A.Angkow
11. Tanggal 20 Agustus 1906 di Kopandakan dengan guru
H.Kumanaw dan P.Kamasi
12. Tanggal 1 September 1906 di Poyama Kecil dengan
guru D.T.Matindas dan Gumogar.
13. Tanggal 10 Agustus di Pobundayan dengan guru
A.Suman dan F.A.Najoan.
14. Tanggal 4 September di Mongkonai dengan guru
K.Masinambow dan Supit.
Dengan
terbukanya 14 buah sekolah Zending di Bolaang Mongondow ini, adalah sangat
mempengaruhi beberapa pemuda Islam yang belum tahu mengaji. Lebih-lebih lagi
setelah murid-murid sekolah Zending ini sudah tamat belajar kelas IV, mereka
sudah dapat diangkat menjadi guru, sekalipun mereka beragama Islam. Akan tetapi
siapa-siapa yang sudah masuk hak istimewa,
akan mendapatkan fasilitas khusus seperti gaji lebih tinggi dari guru-guru yang
bukan beragama Kristen dan dapat diangkat menjadi Kepala Sekolah.
Pengaruh Gadis-Gadis Cantik dari Minahasa
Gadis-gadis
cantik Minahasa yang sudah beragama Kristen akan diprioritaskan untuk
dinikahkan dengan guru-guru Islam yang bersedia beralih ke-agama Kristen.
Selanjutnya
nama-nama pemuda Bolaang Mongondow yang sudah diangkat menjadi guru Zending
seperti nama Abdullah diganti Marten, Mohammad diganti Johanis, Sebagai contoh
ayah Z.A. Lantong bernama Agom Lantong diganti Bertus Lantong dan saudara
sepupuhnya Buyongko Lantong diganti Markus Lantong. Lantong yang tetap
mempertahankan Islam sebagai agamanya tetap dalam kedudukan sebagai guru bantu
sedangkan Buyongko Lantong yang masuk Kristen diperjodohkan dengan gadis cantik
dari Minahasa dan diangkat menjadi kepala sekolah dengan gaji yang jauh lebih
tinggi. Itulah sebabnya marga Lantong di Bolaang Mongondow sekarang ini terbagi
dua, ada yang Islam dan ada yang Kristen.
Tidak
heran dalam waktu yang relatif singkat agama Kristen (walaupun baru) dianut
sebagian kecil, tetapi segera populer di seluruh kerajaan sehingga beberapa
desa yang penduduknya orang Mongondow asli seperti desa Pangian Kecamatan
Passi, Desa Puisan, Kosio dan Dumoga Kecamatan Dumoga penduduknya mayoritas
beragama Kristen. Demikian juga di Kopandakan Kecamatan Laloyan banyak juga
terdapat orang-orang Mongondow asli yang beragama Kristen walaupun jumlahnya
tidak terlalu banyak.
Di
Bolaang Mongondow, Islamisasi tetap bisa berjalan meskipun belum utuh pada
level masyarakat, karena adanya semangat kebangsaan pada diri raja. Walaupun Raja Adrianus Cornelius Manappo belum
mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam namun jiwa Tauhid yang
telah mengalir yang tumbuh disekitar jiwa raganya diatas rasa fanatisme
menyebabkan raja ini amat benci terhadap pemerintahan Belanda sebab penjajahan
itu bertentangan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan bahwa manusia itu
adalah sama derajatnya, kecuali siapa yang lebih takwa, itulah yang terbaik
dalam pandangan Allah. Sikap raja yang anti pemerintah kolonial Belanda ini
menyebabkan ia tidak lama diganti dengan putera kandung Sultan Jocobus bernama Johanis
Manuel Manoppo (1862-1880).
Raja
Johanis Manuel Manoppo selama memerintah didampingi seorang Jogugu (di Jawa
Mangkubumi) yang berotak tajam, sedangkan raja sendiri juga sangat antipati
terhadap Belanda, maka setiap ada pembesar-pembesar Belanda yang datang ia
hanya memerintah Jugugu melayaninya. Rupanya Raja Johanis Manuel Manoppo ini
mempunyai watak yang sama dengan Raja Adrianus Cornelis Manoppo yang amat benci
terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dicap pemerintah kafir. Bahkan raja
ini bukan saja tidak mematuhi perintah-perintah dari residen malahan sering
mensabotnya sehingga ia segera diberhentikan dengan tuduhan menjadi otak
perampokan dan kerusuhan-kerusuhan yang banyak timbul dimana-mana sampai di
daerah Minahasa lalu disingkirkan ke pulau Jawa.
Rupanya
Raja Adrianus Cornelis Manoppo menjadi benci kepada pemerintah kolonial Belanda
akibat pengaruh ajaran Islam sebagai agama baru yang masuk istana, maka rasa
kebangsaan dan semangat ‘nasionalisme’ rupanya mulai bersemi di kalbu raja dan
menyebabkan mereka menjadi antipati terhadap penjajah Belanda dengan berani
menanggung resikonya berupa pencopotan jabatan yang paling terhormat disetiap
kerajaan.
Oleh
sebab itu mengangkat raja-raja baru, Belanda masih curiga terhadap marga
Manoppo takut kalau-kalau sikap anti Belanda meluas ke seluruh kerajaan. Maka
diangkatlah Andi Panungkelan atau Abraham Sugeha sebagai Datoe Pinonigad (raja
penyeling) yang masih ada campuran darah Bugis (1876-1893). ???
Karena
Raja Abraham Sugeha pernah memperdalam ajaran agama Islam di Tanah Bugis,
sehingga pengangkatannya menjadi raja telah membawa kemajuan-kemajuan besar.
Perkembangan agama Islam di Kerajaan Bolaang Mongondow karena raja sendiri
aktif turun ke desa untuk meng-Islamkan rakyatnya. Lagi pula raja yang ulama
ini dikenal sangat dekat dengan rakyat yang sebelumnya telah diangkat menjadi
khotib kerajaan sehingga Raja Sugeha dimana-mana mendapat sambutan hangat
rakyatnya terutama dalam rangka mendengarkan dakwah keagamaan yang sangat
menarik yang selalu diakhiri peng-Islaman massal penduduk di pedalaman.
Dalam
menjalankan pemerintahan Raja Abraham Sugeha sangat berhati-hati dan dalam
segala upaya ia belum menampakkan sikap anti kolonialisme agar sasaran
mengIslamkan penduduk Bolaang Mongondow akan tercapai.
Maka
dalam kurun waktu 15 tahun pemerintahan Raja Abraham Sugeha, agama Islam yang
tadinya baru dikenal di Desa Bolaang dan Desa Simboy Tagadan (sekarang
kelurahan Motoboi Kecil) dan mesjid yang tadinya baru terdapat di Desa Bolaang
kini telah berkembang hampir diseluruh wilayah kerajaan Bolaang Mongondow.
Mesjid berdiri dimana-mana bahkan sudah menjadi persyaratan di tiap desa harus
ada lapangan olah raga, balai desa (bobakidan) dan mesjid yang letaknya tidak
berjauhan sebagai pertanda Islam sudah menjadi agama raja.
Setelah
Raja Abraham Sugeha mengundurkan diri sebagai Datoe Pinonigad maka sebagai
penggantinya Belanda kembali mengangkat orang dari keluarga Manoppo yaitu Riedel Manuel Manoppo perkembangan
agama Islam terus mengalami perkembangan dan kemajuan.
Selama pemerintahannya
agama Islam terus berkembang dengan sebaik-baiknya, pun diwarnai oleh
perkembangan-perkembangan lain, yaitu :
1. Untuk pertama kali ditempatkan di Kerajaan Bolaang
Mongondow seorang Kontroleur bangsa Belanda yang bernama Veenhuizen.
2. Istana Kerajaan Bolaang Mongondow di Desa Bolaang
dipindahkan ke Desa Kotabangun, kecamatan Kotamobagu. Dipilihnya Desa
Kotabangun sebagai Ibu negeri Kerajaan Bolaang Mongondow pada masa pemerintahan
Punu’/Raja Damopolii atau Kinalang pada waktu itu (tahun 1480-1510).
3. Dihapuskannya sistem Ata’ (perbudakan) karena
dipandang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
4. Dibangunnya sebuah mesjid yang besar di Desa
Kotabangun sebagai tempat sholat dan tempat pendidikan agama Islam.
5. Penandatanganan perbatasan Daerah Kerajaan Bolaang
Mongondow dengan Daerah Minahasa oleh Jogugu
Pusung Sugeha mewakili Raja Datu Cornelis Manoppo yang dilaksanakan di
Jakarta dengan merugikan Kerajaan Bolaang Mongondow dengan hilangnya wilayah
Tompaso Baru.
Di
tengah peristiwa penting dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow ini, maka
ulama agama Islam Iman Syafii telah masyhur di seluruh kerajaan. Seiring dengan
derapnya perkembangan agama Islam di Bolaang Mongondow maka Raja Riedel Manuel
Manoppo diganti oleh Raja Daru Cornelis Manoppo. Agama Islam terus menerus
menarik perhatian masyarakat, dimana semua aturan-aturan kebiasaan, adat
istiadat bahkan sistem pemerintahannya mulai dimasuki oleh
unsur-unsur/nafas-nafas ke-Islaman. Raja D.C. Manoppo mulai membangun dan
menata perkampungan di seluruh kerajaan antara lain: 1).Perkataan Lipung
diganti Lipu’ atau kampung (desa) dan jalan- jalan di desa mulai diatur
kelurusan dan lebarnya dan di kanan atau kiri jalan dibuat got (parit) agar
bila hujan turun air tidak menggenang dimata jalan. 2).Rumah-rumah penduduk
dibangun menghadap jalan raya dan setiap halaman diharuskan memakai pagar.
Pembangunan rumah-rumah penduduk mulai diatur rooymester. 3).Tiap kampung
diangkat seorang Sangadi (kepala desa) yang dibantu beberapa orang probis
(pamong desa). 4).Untuk mengurus
kepentingan umat Islam maka ditiap Lipu’ atau kampung diangkat beberapa orang
sara’a atau pegawai syar’i yang dikepalai seorang Imang (Imam). Pegawai syar’i
dalam perkembanganya dinamakan Hatibi (Hotib). Pada tingkat distrik atau kecamatan
diangkat hakim Islam yang bertugas mengkordinir pegawai-pegawai syari’i di
kampung-kampung dan untuk tingkat kerajaan diangkat seorang Kadhi yang bertugas
mengkordinir para hakim. Dalam mengkordinir para Imam di desa-desa hakim
biasanya dibantu Imam Moloben atau Imam Besar. 5).Pembayaran pajak mulai diberlakukan
berdasarkan undang-undang perpajakan di Hindia Belanda dan setiap bulan puasa
umat Islam diwajibkan membayar zakat fitrah. 6). Tiap-tiap Lipu’ atau kampung
diwajibkan membangun lapangan olah raga, masigi (mesjid) dan bobakidan (balai
desa) dengan secara tidak berjauhan satu dengan yang lain. 7). Jalan-jalan ke wilayah perkebunan mulai
diatur, rakyat mulai dibiasakan kerja
bakti untuk membuat jalan yang menjadi kepentingan bersama. 8). Kepada residen diperjuangkan agar kedudukan
Kotamobagu (Kota Baru) yang masih berada di desa Sia’ agar dipindahkan ke arah
Selatan ditempat yang lebih strategis yaitu di Bnadar Kotamobagu sekarang ini.
Demikian antara lain beberapa
jasa besar Raja D.C.Manoppo yang telah berhasil mengadakan penataan kota, desa
dan menyusun struktur pemerintahan di Kerajaan Bolaang Mongondow dimana makam
beliau masih terus terpelihara dipinggir sungai Kelurahan Matali Kecamatan
Kotamobagu.
= Masuknya Syarikat Islam=.
Pada tahun 1920 melalui Makmur
Lubis yang diutus Pimpinan Syarikat Islam (S.I) H.O.S. Cokroaminoto datang di
Bolaang Mongondow membuka cabangnya yang berpusat di Desa Molinow. Masuknya
S.I. di Bolaang Mongondow disamping menumbuhkan rasa kebangsaan dan ke-Islaman
di kalangan masyarakat Bolaang Mongondow yang sudah mayoritas beragama Islam
dan meringkuk dibawah tekanan pemerintah Belanda telah pula dimanfaatkan
tokoh-tokoh Islam waktu itu untuk mengimbangi pengaruh pendidikan Zending yang
mereka anggap dapat melemahkan syiar Islam yang sudah dianut mayoritas penduduk
Bolaang Mongondow. Maka muncullah pimpinan S.I. putra daerah asli kelahiran
desa Molinow yang sangat disegani kawan dan lawan bernama Adampe Dolot.
Dengan segera mereka mengajukan permohonan kepada Kontroleur guna membuka
sekolah-sekolah seperti yang telah dijalankan oleh Zending, akan tetapi baik
Kontroleur maupun Residen di Manado menolaknya dengan alasan bahwa izin telah
diberikan kepada Zending.
Karenanya
Pimpinan Syarikat Islam Adampe Dolot segera berangkat ke Jakarta dengan bantuan
penuh dari A.P.Mokoginta yang telah disingkirkan lebih dahulu oleh pemerintah
kolonial Belanda dari kerajaan Bolaang Mongondow karena dicurigai menanamkan
jiwa kebangsaan di Daerah Kerajaan Bolaang Mongondow untuk menuju Indonesia
Merdeka; keduanya langsung mengajukan permohonan kepada Departemen Van
Onderwijs en Eeredienst dan permohonan mereka tersebut dikabulkan. Makanya
sejak tahun 1926 di Daerah Kerajaan Bolaang Mongondow terdapat dua organisasi
keagamaan yang mengelola persekolahan, yaitu Zending dan Syarikat Islam (SI).
Sementara itu pengaruh Syarikat Islam makin meluas di seluruh Daerah Kerajaan
Bolaang Mongondow. Walaupun masuknya Syarikat Islam yang kemudian menjadi
Partai Syarikat Islam Indonesia tidak gampang karena harus melalui Bai’at atau
sumpah yang cukup berat, namun anggota-anggotanya terus bertambah dibawah
kepemimpinan Adampe Dolot. Di bidang pembangunan didirikan oleh Partai Syarikat
Islam Indonesia, kantor-kantor dan gedung-gedung/balai-balai pendidikan Islam,
sedangkan dibidang ekonomi hampir disetiap ranting didirikan koperasi-koperasi
yang disebut Hazanatullah.
Anggota-anggotanya yang telah di bai’at itu tidak ragu-ragu lagi mewakafkan
pohon-pohon kelapa yang berbuah, tanah-tanah sawah, ladang, sehingga selain
mendapat dana dari iuran anggota, juga tersedia sumber-sumber keuangan yang
tetap untuk Kas Partai. Karena Kas Partai Syarikat Islam Indonesia semakin
kuat, maka pimpinan partai Syarikat Islam Indonesia di Jakarta telah
mengabulkan permohonan pimpinan Cabang Partai Syarikat Islam di Bolaang
Mongondow antara lain saudara-saudara Muhamad Safii Wirakusuma, Muhamad
Djadjuli Kartawinata, R.Ahmad Hardjodiwiryo, Soenjopranoto, Sarwoko, Ali Bahmid
dari Manado, Usman Hadju dari Gorontalo dan Mohamad Tahir dari Sangihe Talaud.
Dengan datangnya guru-guru tersebut, maka didirikanlah beberapa sekolah asuhan
Partai Syarikat Islam Indonesia yang disebut Balai Pendidikan dan Pengajaran
Islam (BPPI) untuk membendung pengaruh-pengaruh Zending yang semakin besar di
Kerajaan Bolaang Mongondow.
=Masuknya Muhammadiyah =.
Sementara itu pada tahun 1931 Muhamadiyah membuka
Cabangnya di Kerajaan Bolaang Mongondow dan berkedudukan di Desa Passi.
Kehadiran Muhammadiyah ini lebih memperkuat barisan dakwah agama Islam di seluruh
kerajaan Bolaang Mongondow. Raja Laurens Cornelis Manoppo tetap mengadakan
hubungan dengan Kiyai Muhamad Arsyad Thawil, seorang Guru Besar pada pesantren
Manado. Kiyai Haji Muhamad Arsyad Thawil tersebut adalah seorang dari pengikut
Pangeran Dipanegoro asal Banten yang sewaktu dibuang ke Manado ia manfaatkan
untuk membuka Pesantren yang banyak mencetak kader-kader agama Islam di
daerah-daerah Sulawesi Utara dan Tengah. Untuk mengimbangi sekolah H.I.S.
asuhan Zending di Kotamobagu yang tidak sembarangan menerima anak-anak dari
rakyat jelata, maka Partai Syarikat Islam Indonesia pada tahun 1931 membangun
H.I.S. serta pada tahun 1937 membangun Kweekschool di Molinow. Dengan demikian
maka anak-anak kampung yang memasuki sekolah-sekolah tersebut sudah dapat
berbahasa Belanda pula dan yang lepasan Kweekscool akan diangkat menjadi
guru-guru di Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam, atau B.P.P.I.
Pada tahun
1931 seorang santri bernama Abdul Latif Paputungan, kelahiran Kelurahan Motoboi
Kecil karena telah menyelesaikan pelajarannya di Pesantren Manado, asuhan Kiyai
Haji Muhamad Arsyad Thawil berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran
pada Perguruan Islam Jamiat Haca. Perguruan ini adalah Perguruan Tinggi Islam
yang langsung mendapat pembinaan dari Pusatnya di Kairo Mesir. Setelah selesai,
maka pada tahun 1941 Abdul Latif Paputungan kembali ke Kotamobagu dan langsung
aktif memberikan pelajaran-pelajaran agama Islam, baik melalui kursus-kursus
maupun khutbah-khutbah dan dakwah-dakwah di seluruh Kerajaan Bolaang Mongondow
sampai dengan waktu pendudukan Jepang, Perang Dunia II (tahun 1942-1945).
Sebaliknya,
di Gorontalo, boleh dikatakan, bahwa agama Islam tidak mengalami hembatan
kesulitan yang berarti untuk diterima oleh rakyat Gorontalo, oleh karena agama
Islam terlebih dahulu dianut oleh raja-raja mereka sendiri yang menjadi panutan
bagi rakyatnya. Namun, masih ada
sebahagian kecil rakyat Gorontalo yang menganut ajaran Islam juga masih
mempercayai adanya kekuatan gaib.
Sementara itu beberapa faktor
yang pendukung memungkinkan masuknya agama Islam di Gorontalo antara lain :
1. Pengaruh raja-raja Gorontalo, sejak raja Amai yang
mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing sehingga dengan mudah menyebarkan
agama Islam kedalam wilayah kekuasaannya, dan diikuti oleh raja-raja sesudah
Amai wafat.
2. Melalui perkawinan antara yang telah memeluk agama
Islam dengan yang belum beragama Islam.
3. Melalui kesenian yang lambat laun isinya mengalami
perubahan dengan menyesuaikan tuntutan agama Islam, dan ini dapat terjadi
karena langsung diperintahkan oleh raja.
Hukum
adat yang bertentangan dengan agama Islam, oleh raja diadakan
perbaikan-perbaikan dan perubahan agar pada akphirnya adat bersendi Alqur’an
atau kitabullah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda