Minggu, 23 Maret 2014


PENYEBARAN AGAMA ISLAM

DI SULAWESI UTARA

Dagang, Kerajaan dan Keulamaan



A.     Masuknya Agama Islam

            Karena Sulawesi Utara terdiri atas beberapa daerah yang letak geografisnya berjauhan dan berbeda-beda antara satu dengan yang lain, juga karena faktor hasil bumi sebagai salah satu penarik masuknya pihak luar ke Sulawesi Utara, menyebabkan masuknya agama Islam antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Sulawesi Utara berbeda-beda, baik dari segi permulaan masuknya, proses, cara dan jalur penyebaran, maupun faktor-faktor yang merupakan penghambat dan pendukungnya.
            Berikut ini akan dikemukakan tentang permulaan masuknya agama Islam di Sulawesi Utara secara perdaerah.
            Minahasa. Suatu daerah yang telah memeluk agama Islam, sebelum kompeni Belanda masuk Minahasa, ialah daerah Ponosokan, yang ibu walaknya Belang. Menutut cerita keluarga Paris permulaannya demikian :
            Sekitar  tahun 1590, adalah seorang Arab masuk Belang dengan maksud mengkabarkan agama Islam kepada penduduknya. Penduduk Ponosokan itu adalah suku Mongondow. Orang Aran itu namanya disebut orang Wahes. Nama itu barangkali dipendek dari Wahid Rais, atau Abdulwahid Rais, ia seorang Said, yang datang dari tanah Arab. Tetapi rupa-rupanya tempatnya yang lebih dulu, ialah Ternate. Dari Ternate ia datang ke Belang. Meski diketahui bahwa pada masa-masa itu, seolah-olah berlomba-lomba pekabar agama Islam masuk ke teluk Tomini : Palasa, Kotabunan, Molibagu, Gorontalo dan lain-lain, lalu ke Belang mereka tidak liwati.
            Sahid Wahes atau Wahid kawinlah dengan seorang Bua/puteri raja Dodi Mokoagow. Ia menetap di sana sampai meninggal dunia di Belang, lalu dimakamkan di sebuah tanjung.
            Dari turunan mereka yang terkenal menjadi Kepala Disterik Ponosokan pada tahun 1859 ialah Oesman Golosumpala dengan gelar Majoor. Dan camatnya ialah Baba Abdullah. (D. Brilman : 1938).
            Turunan lurus dari mereka ialah keluarga Hasan Paris pada tahun tiga puluhan, dan kini disebut keluarga Paris. (Paris dipendekkan dari nama Pak Rais).
            Agama Islam masuk Manado pada tahun 1684, bersama dengan kedatangan buruh-buruh yang dibawah oleh kompeni ke daerah ini untuk mendirikan barikade/benteng kayu, yang akan dijadikan lagi tempat memaparkan barang-barang dagangan, dan tempat mengumpulkan barang-barang seperti beras, padi, ayam, sarang madu, kulit penyu dan lain-lain.
            Buruh yang didatangkan oleh kompeni tersebut adalah orang-orang Makasar, Bali, Ternate turunan Portugis, Spanyol, Manila dan Cina, dimana orang-orang yang berasal dari Makasar, dan Ternate pada umumnya beragama Islam.
            Dalam fase berikutnya, agama Islam masuk Minahasa dibawah oleh pejuang perintis kemerdekaan yang diasingkan oleh pemerintah Kolonial Belanda ke daerah ini, masing-masing :
1. Pejuang Perintis Kemerdekaan Berasal Sumatera.
a. Berasal dari Padang.
Pada tahun 1805 (?) suatu rombongan pejuang perintis Kemerdekaan yang berasal dari Padang tiba di Minahasa. Diantara mereka yang terkenal ialah Si Namin Gelar Malim Muda, Di Gorak Gelar Malim Panjang, Haji Jamil Gelar Si Nan Tujuh, Haji Abdul Halim, dan lain-lain.

b. Berasal dari Palembang.**
Pada tahun 1818 di Palembang timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Sultan Najam. Usaha tentara Belanda untuk memadamkan pemberontakan ini dipimpin oleh Muntinghe. Sultan Najam kemudian diganti oleh            Sultan Najam II yang melanjutkan pemberontakan itu tapi ia dapat ditaklukan oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Wolter Beek. Sultan Najam II di asingkan ke Minahasa, dan di Manado ia terkenal dengan Sultan Najamuddin II yang meninggal dunia pada tahun 1844. Diantara pengiringnya terdapat Said Abdullah Assagaf yang turunannya banyak tersebar di Sulawesi Utara. (Taulu H.M : 1980).
c.  Berasal dari Padang/Minangkabau **.
Perang Padri di Minangkabau telah mulai berkobar pada tahun 1823 sampai 1837. Mulanya dipelopori oleh Haji Miskin, Nanrince dan lain-lain. Perang tersebut berpusat di Kota Bonjol dengan Pimpinan Utama Tuanku Iman Bonjol. Oleh gempuran telah Belanda di bawah pimpinan Michels, pada 3 Oktober 1837, kota Benteng Bonjol jatuh dan Imam Bonjol tertangkap, kemudian diasingkan ke Minahasa, dan ditempatkan di desa Lotah kira-kira 10 km dari Manado. Diantara pengiring-pengiringnya antara lain Sultan Baginda. Di Minahasa Tuanku Imam Bonjol dapat bergerak di daerah distrik Kakaskasen sampai desa Koka. Di daerah-daerah tersebut ia sempat membuka usaha pertanian, pemeliharaan kambing, ayam dan lain-lain. Ketika berada di Lotah Tuanku Imam Bonjol lebih taat lagi menjalankan ibadah, sehingga sangat menarik banyak umat Islam yang telah lebih dahulu berada di MInahasa. Pembantu-pembantu yang datang bersamanya sambil belajar agama antara lain Tubagus dan Si Nan Tujuh. Demikian taatnya Tuanku Imam Bonjol menjalankan agama Islam sehingga seorang bekas tentara Belanda bernama Apolos Minggu yang dahulunya beragama Kristen tergugah hatinya dan kemudian beralih masuk Islam. Menjelang akhir hidupnya Tuanku Imam Bonjol, mendirikan sebuah rumah di Paal Lima pada suatu dataran kecil yang setengahnya dilingkari air sungai Malalayang. Sesudah itu beliau berpindah ke Selatan bercampur dengan petani-petani bekas pejuang perintis kemerdekaan yang diasingkan dari Lampung. Daerah tersebut kini dikenal dengan kebun Lampung dimana terdapat sebuah pemakaman Islam. Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1864.
d. Berasal  dari Lampung.
       Suatu rombongan pejuang perintis kemerdekaan yang diasingkan dari Lampung ditempatkan di desa Lotak (Minahasa). Mereka mendapat tanah perkebunan di sebelah Barat Sungai Malalayang tidak jauh dari desa Lotak. Mereka didatangkan kesana melalui Tuanku Iman Bonjol. Pimpinan rombongan tersebut ialah Raden Rahmat yang menurut berita adalah salah seorang putera Sultan Hasanuddin. Setelah kedatangan Tuangku Imam Bonjol para pejuang dari Lampung ini bergabung dengan Tuanku Imam Bonjol.
e. Berasal dari Aceh.
       Pejuang perintis kemerdekaan Tengku Mohammad berasal dari Aceh dan merupakan bekas pengiring Teuku Umar dalam perang Aceh, diasingkan ke daerah Minahasa pada tahun 1895. Ia juga adalah merupakan seorang penganjur agama Islam di Minahasa.
2. Pejuang Perintis Kemerdekaan Berasal dari Jawa.
a. Berasal dari Batam/Serang
       Pada tahun 1790 beberapa dari para pemimpin pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Bamtam ditangkap dan diasingkan ke Minahasa, antara lain Tubagus, Buang, Penghulu Abusalam, Mas Jebeng, Mukali, Abdu Rasjid, Abdul Wahid, Abdul Haji, Abdul Rais, dan lain-lain.
Pada akhir abad lalu terdapat lagi satu keluarga asal Bantam tersebut yang terkenal dengan nama Ratu Agong bersama dua orang putera yaitu Sulaiman dan Adam. Diantara cucu keluarga tersebut yang bernama Salim Mas Obed kawin dengan nona Kaligis dan menurunkan beberapa orang anak yaitu: R.A.Maimunah, R.A.Saliman, R.A.Napiyah, R.A. Aisah, R.A.Anifah, R.A.Sitti dan R.A.Saijah.
b. Berasal dari Jawa Tengah.
            Sebagaimana dimaklumi dalam tahun 1825-1830 di Jawa Tengah pecah  perang melawan penjajah Belanda yang dipimpin oleh pangeran Dipanegoro dengan dibantu salah seorang tangan kanannya yaitu Kiai Mojo. Setelah berperang selama 4 tahun Kiai Mojo terkepung dekat Banyumas lalu tertangkap kemudian bersama-sama dengan kira-kira 60 orang pengirim diasingkan ke Ambon. Pangeran Dipanegoro sendiri sesudah berperang melawan Belanda selama 5 tahun ditangkap secara tipu muslihat oleh Jendral De Koch pada 28 Maret 1830 di Menareh dekat Magelang. Dari Mangelang, Diponegoro dibawah ke Betawi lalu dari sana diasingkan ke Manado pada tahun 1830 itu juga, dan ditahan dalam Benteng Amsterdam di Manado. Pada tahun 1835 Kiai Mojo dipindahkan ke Tondano (Minahasa). Oleh karena itu pemerintah Belanda tidak mau mempertemukan kedua pejuang tersebut maka pada tahun itu juga Pangeran Dipanegoro dipindahkan ke Makassar. Diantara para pengiring Kiai Mojo yang didatangkan ke Tondano antara lain Tumenggung Reksonegoro, Tumenggung Sasak Majang, Kyaj Kamil Demak, Pulukadang, Sataruno, Joyosuroto, Surotinoyo, Masloman dan lain-lain. Kiai Mojo meninggal dunia di Tondano pada 29 Desember 1849. Sebagian turunan mereka dewasa ini tersebar di Kampung Jawa, Sarongsong, Gorontalo dan lain-lain. Diketahui bahwa selama Pangeran Dipanegoro ditahan di Benteng Amsterdam Manado, pada tiap-tiap hari Jum’at beliau melakukan sholat Jum’at di Mesjeid Kampung Pondol yang merupakan mesjid tua di Manado.
c.  Berasal dari Solo
       Diujung Utara Kampung Pondol berbatas dengan Gereja Pantekosta sekarang ini, ada suatu komplex yang sampai tahun 1940 dikenal dengan nama Keratonan. Di tempat ini pada tahun 1860 telah didirikan oleh penjajah Belanda suatu Keraton (keraton bersahaja) yang didiami oleh keluarga Pangeran Prabuningrat yang pada tahun 1832 diasingkan ke Manado. Disekitar tempat itu berdiam pula satu keluarga bangsawan solo bernama R.M. Abdul Razak, yang kabarnya adalah putra dari R.A. Salamah. Selanjutnya Raden Mas Abdulrazak kawin dengan Unggu Bin Sihaka dimana mereka mendapat 4 orang anak yaitu R.M. Sujadi, R.M. Obed, R.A. Tien dan seorang yang tidak dikenal namanya, dan kawin kedua kali dengan Ema Sondakh tapi tidak memperoleh keturunan. Pada tahun 1940, R.M. AbdulRazak bersama keluarganya kembali ke Jawa (wawancara lanjutan dengan Ali Kasim, eksponen 66).

d. Berasal dari Cilegon.
Diantara para pejuang yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda di Cilegon pada tahun 1888, beberapa diantaranya diasingkan ke Minahasa yaitu Haji Jaafar, Kasim Maskun, Kyai, Haji Arsad Thawil  dan lain-lain.
3. Pejuang perintis Kemerdekaan dari Kalimantan.
    Adalah berasal dari Banjarmasin.
            Pada tahun 1787 terjadi pro dan kontra dalam pengangkatan Sultan Banjarmasin yang kemudian menimbulkan pemberontakan antara rakyat  landshap-landshap Siang dan Murung dan berlangsung sampai 1884. Diantara para pemimpin pemberontakan tersebut dikenal Pangeran Perbatasari.
            Ketika Pangeran Perbatasari pergi ke Kutai untuk membeli senjata dan amunisi ia ditangkap oleh Sultan Kutai dan diserahkan kepada Pemerintah Belanda.
            Pada tahun 1885 Pangeran Perbatasari diasingkan ke Minahasa dan ditempatkan di Tondano. Diantara pengiringnya adalah Antasari.




Permulaan Masuknya Agama Islam di Sangihe dan Talaud.
            Menurut Dokumen Monografi Daerah Kabupaten Sangihe-Talaud, bahwa pada akhir abad ke-15 masuklah agama Islam kekepulauan Sangihe dan Talaud melalui Filipina Selatan. Terkenal Syarif Maulana Ma’mun, seorang bangsa Arab datang ke Tabukan Utara di kerajaan Lumange. Raja Lumange masuk agama Islam, sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan ini dan raja Maselihe (Bangsa/bahasa Arab = Syamsul Alam) yang dalam letusan gunung api (gunung Awu) tahun 1622 kerajaan ini musnah. (gunung apa? Dan bagaimana kisah selanjutnya).
            Pada abad ke-17 hubungan Islam bertambah baik dengan kesultanan Ternate, karena kekuasaan sultan sampai di kekepulauan ini. (deskripsikan  hubungan dengan Ternate.....)
            Diketahui ada 2 (dua) versi agama Islam di kepulauan ini :
a.   Agama Islam Tua (istilah ini digunakan sebelum terbitnya Nomor Inventarisasi I.273/F.3/N.I.1/1985 tertanggal 5 Pebruari 1985 tentang Organisasi Masade telah terdaftar sebagai Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Nomor Inventarisasi ini diterbitkan oleh Dirjen Kebudayaan Dep.Dik.Bud RI). 
          Penganut-penganut  agama itu menyebut “Agama Islam” dengan “Islam Qur’an”, sedangkan penganut agama Islam Tua menyebut dirinya nama Gurunya (Masade). Ada tiga aliran agama Islam tua (sekarang Penghayat) yaitu agama Islam Hindu, agama Islam Makung dan agama Islam Biangkati (seorang wanita).
          Islam tua ini, baik Hadung (menurut lafal orang-orang Tua yang sebenarnya Muhammad, Makung dan Biangkati, ketiga-tiganya sama-sama berguru di Tugis (Filipina Selatan)**. Berdasar peninggalan sejarah yang dituturkan dari mulut ke mulut, bahwa sistem pengajaran diberikan secara lisan oleh pemimpin yang bersifat turun temurun. Mereka juga memelihara anjing dan babi, dan mereka melaksanakan puasa selama 3 hari dan 3 malam. Selain dari pada itu, mereka juga mengadakan “pohon terang” seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kristen.(diteliti lagi....)
Pusat ibadah mereka dilakukan di masjid atau di rumah-rumah Iman. Agama Islam Hadung, penganut-penganutnya banyak terdapat di Kalakube’ dan Lenganeng Agama Islam Makung, pengikut-pengikutnya tersebar di Enggohe (Tinakareng, pulau Toade’) dan Tariang Baru, kesemuanya terdapat di Tabukan Utara Sedangkan agama Islam Biangkati terdapat di Sawang (sebelah utara Sangihe Besar). Pengikut-pengikutnya hingga sekarang hampir tidak ada lagi.
Islam Hadung dan Makung, pengikutnya sudah mulai berkurang, yang masih ada sekitar 3000 orang. Mereka hanya puasa selama 3 hari dan banyak upacara-upacara istimewa. Upacara kematian dan penguburan yang banyak makan biaya. Pengajian dan puasa dan pelaksanaan syariat-syariat Islam lainnya ± 80 % bersalahan dengan tuntutan Islam Ahlussunah Waljamaah.
b.          Pengajaran-pengajaran agama Islam sesungguhnya masuk dari Ternate sekitar abad ke 17, walaupun belum sesuai benar dengan Alqur’an dan Alhadist, tapi dianggap cukup memadai dibanding dengan pengajaran-pengajaran yang pernah diterima masyarakat sebelumnya melalui Islam Tua. Kampung Tidore di Kecamatan Tahuna menunjukan bahwa suku Tidore yang datang ke pulau Sangihe Besar (Tabukan) yang menetap, ternyata telah berkembang baik (?), telah menjadi penduduk kampung Tidore dewasa ini. Hubungan dengan Ternate pada zaman kekuasaan Sultan Ternate dan pada zaman VOC antara penduduk di kepulauan ini dengan VOC telah terjadi perdagangan minyak kelapa (yang dahulu disebut “minyak busuk”, sebab yang dibawa ke Ternate itu adalah kelapa yang sudah diparut lebih dulu, baru diolah di Ternate, untuk diambil minyaknya. Dalam hubungan ini, orang-orang yang berlayar ke Ternate, mempelajari agama Islam disana, dan setelah mereka kembali kekampung halamannya di Sangihe-Talaud ini, ajaran-ajaran Islam yang sudah mereka terima dengan baik itu, lalu segera mereka sebar luaskan kepada masyarakat lingkungannya. (apa orang kp. tidore mengakui?)
            Selanjutnya pada abad ke 19, pedagang yang beragama Islam masuk ke kepulauan ini. Secara tidak langsung mereka terpengaruh dengan perkembangan dan pertumbuhan Islam didaerah ini. Mereka dari suku-suku Bugis, Suku Gorontalo, suku Ambon dan Suku Arab yang kesemuanya itu telah ikut ambil bagian dan punya peranan penting dalam tersebarnya Islam dikepulauan ini, apalagi setelah terjadinya proses kawin mengawin antara pendatang tersebut dengan penduduk setempat.     Suatu kendala yang cukup mendasar yang dihadapi ummat Islam sejak awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya antara lain yang menyangkut masalah pendirian tempat Ibadah (Masjid) masalah ini dikatakan mendasar karena masjid bagi ummat Islam bukanlah sekedar tempat bersujud Shalat, tetapi tak kalah pentingnya dari itu adalah, dimana fungsi masjid sebagai wadah “pembinaan umat”, sebagai pusat kegiatan/aktivitas ummat, baik rohani maupun jasmani. Fungsi-fungsi inilah yang menempati posisi strategis sejak awal pertumbuhan dan perkembangan Islam didaerah ini, namun strategi itu ternyata tercium bahkan dipahami oleh bangsa-bangsa penjajah kolonial/maupun para penjajah ideologi/Aqidah, antara lain dengan cara mempersulit “perizinan” pendirian tempat ibadah yang harus diproses dan ditetapkan oleh Gubernur Jendral. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab diusirnya sebagian warga/penduduk Kampung Tidore-Tabukan diasingkan/diungsikan kekampung Tidore-Tahuna sekarang karena mereka dianggap telah menantang kebijakan pemerintah Belanda, dan selalu menuntut pendirian masjid-masjid baik di Peta, Moronge dan Tidore- Tahuna.
            Perkembangan dan penyebaran agama Islam di daerah kepulauan Sangihe-Talaud ini banyak dipengaruhi oleh munculnya di daerah ini berbagai organisasi sosial/politik Islam antara lain seperti : Pada tahun 1918, partai politik (Islam) masuk kedaerah ini dengan kunjungan beliau H.Abdul Muis ke Sangihe Besar, beliau selaku tokoh dari partai “Syarikat Islam” (S.I). Beliau telah memberikan pembinaan kesadaran kepada ummat Islam didaerah ini. KRING S.I terbentuk di kampung Tidore untuk Sangihe Talaud, yang pada awal pergerakannya mendapat kemajuan, namum karena tekanan penjajah kolonial dan raja-raja yang berkuasa, gerak laju organisasi ini semakin mengendor dan surut sampai tahun 1932.
            Pada tahun 1932 KRING PSII dibentuk di Sangihe Besar, dan pada tahun 1935 dibentuk pula di Kendahe Talawid-Bahu yang diasuh oleh L.A. PSSI Manado dengan mendirikan sekolah-sekolah. Pada waktu itu PSSI tidak berkembang kekampung-kampung lain, namun demikian pada tahun 1939 berdirilah L.A. PSII di Kendahe. Sejak tahun 1947 L.A. PSII di Kendahe aktif kembali, setelah pasif selama masa pemerintahan Jepang, dan mendapat perhatian yang khusus oleh semua lapisan ummat Islam didaerah ini.
            Mulai sejak tahun 1937 Muhammadiyah telah bergerak dibidang pendidikan pada sekolah-sekolah kewanitaan, kepanduan syair-syair Islam, usaha ini pada tahun 1941 musnah oleh Jepang (wawancara lagi dengan tokoh Muhammadiyah). Syair-syair agama Islam sejak tahun 1936 cukup mendapat perhatian dari umat Islam, terbukti dengan berdirinya pada sembilan (9) kampung, antara lain di Peta, Tahuna, Likuang, Bahu, Kendahe dan lain-lain.
            Kemudian pada tahun 1944, atas persetujuan pemerintahan Jepang, Lahir Badan Persatuan Islam Sangihe Talaud (BPIST). Tahun 1947, lahir pula di Tahuna Badan Al-Chaerat dengan mendirikan sebuah Madrasah Ibtidaiyyah. Berbarengan dengan itu lahir pula Dewan Islam Tabukan yang bertujuan: antara lain “mempersatukan Islam di Tabukan dan akhirnya menjadi Dewan Islam di Sangihe Talaud pada tahun 1948 (D.I.S.T) ini berpusat di Tahuna. Dan pada tahun 1950 Muhammadiyah di Peta, yang telah putus hubungannya dengan pusatnya di Jakarta sejak zaman Jepang dan zaman Republik bangun kembali. Dan selanjutnya, pada tahun 1951 muncullah di daerah ini Partai Politik (Islam) MASYUMI (teliti lagi)
            Dengan kehadiran organisasi sosial politik (Islam) ini, tampaknya membawa arti tersendiri bagi pertumbuhan dan pengembangan Islam dan Ummatnya di daerah 77 pulau ini, khususnya di Sulawesi Utara pada umumnya.

Permulaan Masuknya Agama Islam di Bolaang Mongondow.
            Diakui bahwa pada masa pemerintahan Raja Eugeneus Manoppo (tahun 1767-1770) untuk pertama kalinya agama Islam masuk di Istana Kerajaan Bolaang Mongondow.
            Sebelum agama Islam masuk di Bolaang Mongondow tahun 1848 pada masa pemerintahan Raja Jocobus Manuel Manoppo maka di kerajaan Bolaaang Mongondow sudah ada agama Kristen Katolik. Bahkan sudah termasuk agama tua di Bolaang Mongondow karena Raja Loloda’ Mokoagow pada masa pemerintahannya tahun 1689 sudah memeluk agama Katolik.
            Akan tetapi setelah kekuasaan Raja Loloda’ Mokoagow menyebar sampai seluruh daerah Minahasa sekaligus mengangkat dirinya sebagai raja Manado (1633-1655) maka Raja Kerajaan Bolaang Mongondow itu benar-benar berada di puncak ketenaran dan kemasyuran. Ia dikenal sebagai seorang yang berbakat tinggi dalam ilmu strategi dan unggul  dalam bidang diplomasi sehingga Sultan Hairun dan Sultan dan Kesultanan Ternate mengikat perjanjian dengannya, bahkan raja-raja Ternate perhitungkan rasa hormat terhadap raja-raja Bolaang Mongondow sebagai asal keturunan mereka.
            Tidak mengherankan terjalinnya hubungan yang intim antara Raja Loloda’ Mokoagow dan Sultan Ternate menyebabkan raja Loloda’ Mokoagow yang sudah memeluk agama Katolik menyatakan masuk agama Islam yaitu agama yang sudah mendara daging di Kesultanan Ternate. Walaupun demikian ke-Islaman yang dianut Loloda’ Mokoagow hanyalah formalitas karena Loloda’ masih lebih banyak dipengaruhi kepercayaan animisme dan dinamisme.
            Demikian pula raja-raja berikutnya yang silih berganti tidak ada yang tertarik dengan agama Islam yang sudah dianut Raja Loloda’Mokoagow karena semuanya memeluk agama Kristen Katolik.
            Raja Loloda’Mokoagow diganti Raja Jacobus Manoppo (1689-1731) yang sebelumnya naik tahta sesudah memeluk agama Katolik. Secara estafet agama Katolik menjadi pula agama 9 raja yang silih berganti sesudah raja Jocobus Monoppo.
            Kesembilan raja itu masing-masing : Jocobus Manoppo, Fransiscus Manoppo, Solomon Manoppo, Manuel Manoppo, Ismail Cornelis Manoppo dan Jocobus Manuel Manoppo. (tambah 3 raja lagi)
            Dalam kurun waktu 1½ abad itu tidak nampak perkembangan agama Islam yang pernah dianut oleh Raja Loloda Mokoagow.  Yang ada hanya agama Kristen Katolik dan kepercayaan animisme dan dinamisme. Oleh sebab itu kalau ada yang mengatakan  bahwa agama Islam masuk di Boloaang Mongondow sejak masa pemerintahan Raja Loloda’Mokoagow tahun 1653 sebagaimana yang dinyatakan beberapa penulis maka secara kenyataan sejarah memang tidak dapat dibantah.
            Akan tetapi dalam hal masuk dan berkembangnya agama Islam dalam arti yang luas, belum dapat dijadikan pegagangan sebagai titik tolak masuknya agama Islam di Bolaang Mongondow. Apalagi pada saat raja Loloda’ Mokoagow (Datu Binangkang) masuk agama Islam hanyalah diperoleh dari kontak-kontak hubungan yang baik dengan Sultan Ternate pada saat ia masih menguasai Daerah Minahasa dan Manado yang saat itu sudah sepenuhnya memeluk agama Kristen Katolik.
            Barulah pada masa pemerintahan Raja Jacobus Manuel Manoppo (1833-1858) maka di pedalaman Bolaang Mongondow sudah terbentuk semacam desa-desa tempat pemukiman yang rumah-rumah penduduknya sudah saling berdekatan yang disebut Lipung seperti Lipung Kotobangon, Lipung Moyag, Lipung Kope dan lain-lain yang lama-kelamaan menjadi Lipu’ atau desa/kampung.
            Maka di Lipung Simboy Tegadan sekarang Kelurahan Motoboi Kecil Kecamatan Kotamobagu sudah ada sekelompok masyarakat yang memeluk agama Islam. Konon pembawa pertama agama Islam ke Lipung Simboy Tagadan itu adalah suatu tim dari daerah Gorontalo pimpinan Iman Tueko dimana dalam tim yang disebut tim 9 ini terdapat seorang yang bernama Datao yang segera melanjutkan penyebaran agama Islam ke lipung tetangga yaitu lipung Linow yang sekarang bernama Kelurahan Molinow yang kemudian kawin dan beroleh keturunan. Panggilan kepada Datao ini oleh masyarakat Molinow lama berubah menjadi Detu yang hingga kini merupakan salah satu marga besar di kelurahan itu. Dan seorang lagi bernama Eato mendapat tugas menyebarkan agama Islam di Kotabunan pada periode selanjutnya dan kawin dan beroleh keturunan di wilayah itu.
            Didalam team tersebut terdapat pula seorang gadis cantik jelita, puteri kandung dari Hakim Bagus ini, yang fasih membaca ayat-ayat suci Alquranul Karim dan pandai melagukan zikir-zikir, burudah dan qasidah-qasidah dengan suaranya yang sangat merdu.
            Juga terdapat seorang budak (Ata) lelaki yang dibawah dari Gorontalo untuk dipersembahkan kepada Raja Bolaang Mongondow disertai beberapa buah rebana sebagai alat kesenian pengiring lagu-lagu zikir, berudah dan qasidah.
            Pada suatu hari Iman Tueko menghadap raja melapor kedatangan mereka seraya mempersembahkan Ata (budak) yang dibawa dari Gorontalo kemudian memohon kesedian Raja Jacobus Manuel Manoppo kiranya berkenan menyaksikan pagelaran kesenian yang sudah dipersiapkan dengan matang.
            Ketika menyaksikan pagelaran kesenian Islam itu Raja Jacobus terguncang hatinya mendengar suara putri Imam Tueko yang bernama Kiling (Kilingo) yang begitu merdu dan mengharukan takkala membaca ayat-ayat suci Alqur’an sebagai pembukaan pagelaran kesenian Islam yang terdiri dari : zikir, berjanji, burudah dan qasidah. Akhirnya rasa jatuh cinta kepada gadis Kiling sehingga sang raja tak kuasa lagi membendung niatnya untuk melamar putri Kiling sebagai permaisuri. Lamaran itu diterima ayahnya Imam Tueko dengan syarat raja lebih dahulu Masuk Islam. Persyaratan itu dipenuhi raja dan saat itu juga raja Jacobus Manuel Manoppo mengucap ‘dua kalimat syahadat’ yang artinya “aku bersaksi tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah dan Nabi Muhammad itu pesuruh Allah”, sebagai bai’at atau pengakuan seseorang yang masuk agama Islam.
            Karena raja telah berganti agama dari agama Kristen Katolik menjadi agama Islam maka ia segera berangkat ke Manado menghadap residen untuk melapor diri bahwa ia sudah keluar dari agama kristen Katolik dan masuk agama Islam. Ia menanyakan apakah residen tidak keberatan  jika orang-orang Kristen di Bolaang Mongondow beralih menjadi pemeluk agama Islam? Dalam hubungan ini residen menyatakan  bahwa baginya rakyat masuk agama Islam atau masuk agama Kristen sama saja, yang penting raja dan rakyatnya harus memperlihatkan kesetiaan kepada Ratu Belanda. Dan karena raja sudah menjadi Islam maka residen memberi gelar Sultan dengan sebutan Sultan Jacobus.
Permulaan Masuknya Agama Islam di Gorontalo.
            Tentang masuknya agama Islam ke Gorontalo, ada beberapa pendapat yang sama antaranya M.H. Lipoeto berpendapat bahwa akibat adanya perkawinan raja Gorontalo yang bernama Amai dengan puteri raja Gumondjolo di Palasa yang bernama Owutango. Perkawinan ini diikat oleh suatu syarat sebagai permintaan puteri Owutango, bahwa raja Amai serta rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan adat kebiasaan dalam masyarakatnya harus Alqur’an. (M.H.Lipoeto : 1949). Pendapat ini sesuai pula dengan penjelasan A.Nadjmuddin dan Monu Kaluku, bahwa masuknya Islam ke Gorontalo adalah dengan perantaraan perkawinan tersebut. Perkawinan itu terjadi karena adanya kunjungan raja Gorontalo (Amai) ke Tominibocht (Tomini, Posso, Sulawesi Tengah) yang hendak bertemu dengan daerah-daerah diteluk Tomini. Perkunjungan ke Tominibocht itu telah berlaku sejak raja-raja sebelum Amai, antaranya pad tahun 1430 raja Gorontalo yang bernama Walango berangkat kesana untuk mencari rakyat (K. Kaluku : tt). Kemudian raja Polamolo yang menggantikan berangkat pula kesana dan kawinlah di daerah tersebut.
            Dalam pertemuan Amai dengan puteri Raja Gumondjolo timbulah hasrat untuk mengawininya itu dapat dilangsungkan setelah melalui suatu persyaratan  sebagai yang dikemukakan oleh H.M. Lipoeto diatas. Adanya perkawinan dengan persyaratan suci itu maka konsekwensinya, raja Amai, rakyat Gorontalo beserta adat istiadatnya harus diislamkan secara berangsur-angsur.
            Usaha-usaha untuk mengislamkan rakyat Gorontalo telah dimulaikan oleh raja Amai sejak kembalinya dari Palasa pada tahun 1525 dan dilanjutkan oleh puteranya yang memerintah, sejak tahun 1563 sampai 1589 yakni raja Motolodulakiki, atau dalam buku Perjuangan Rakyat di Gorontalo (1981), disebutkan bahwa periode Raja Motolodulakiki (1550-1585).
            Dalam buku masuknya agama Islam di Sulawesi Utara karangan Taulu H.M. digambarkan sebagai berikut: Menurut Richard Tacco (R. Datau) dalam bukunya “Het volk van Gorontalo” bahwa raja Gorontalo yang pertama-tama memeluk agama Islam setelah masuk ke Teluk Tomini, yaitu Palasa, yang merupakan wilayah cakupan kerajaan Gorontalo. (dikritisi...).
            Sewaktu raja Amai mengadakan peninjauan di daerah-daerah taklukannya di teluk Tomini, diperolehnya kabar bahwa Raja Palasa yang bernama Bonenato mempunyai seorang puteri cantik bernama Owutango, yang telah taat memeluk agama Islam.
            Pada suatu malam Raja Amai berkunjung ke rumah puteri Owutango untuk meminangnya. Puteri Owutango tidak keberatan asalkan Raja Amai terlebih dahulu masuk agama Islam, dan apabila telah mendapat anak, maka anak itu harus diislamkan, begitu pula rakyat Gorontalo.
            Syarat yang diajukan oleh Puteri Owutango ini disetujui oleh raja Amai, dan perkawinanpun dilangsungkan. Setelah perkawinan tersebut, puteri Owutango dibawah oleh raja Amai ke Gorontalo pada sekitar tahun 1525. Di Gorontalo kemudian didirikannya Masjid yang pertama yaitu masjid Hunto di Biawu.
            Dalam perkawinan Raja Amai dengan Puteri Owutango lahirlah seorang anak yang diberi nama Matolodulahu (Motolodulakiki?) yang kemudian menjadi raja Gorontalo. Matolodulahu kemudian mulai memajukan dan memupuk agama Islam sekitar tahun 1563. Dalam tahun 1566 (1565?) agama Islam diremikan sebagai agama Kerajaan di Gorontalo.
            Dari Gorontalo, agama Islam disebarkan kedaerah-daerah antara lain di kerajaan Limboto. Agama Islam dimasukkan oleh Tutu Tomito, dan di Suwawa oleh Samidun yang keduanya masuk agama Islam di Taulaa Paguyaman. Di kerajaan Suwawa agama Islam diresmikan menjadi agama Kerajaan oleh Raja Mooluade dan selanjutnya dikembangkan oleh Raja Lahai.
            Raja Amai sebelum memeluk agama Islam adalah beragama Alifuruh (animisme-mistik). Setelah Raja Amai meninggal, ia digantikan putranya Motolodulakiki kemudian setelah itu diperintah oleh Eato dari tahun 1673-1779.      Sedang Raja Amai memerintah dari tahun 1525- 1568 (wawancara dengan Prof. Ibrahim Polontalo). Raja Amai meninggal karena sakit tua (udzur).

Proses, Cara dan Jalur Penyebaran Islam

Minahasa
            Dalam penyebaran Islam di Minahasa, daerah Belang harus dilihat terlebih dahulu. Di daerah inilah yang hingga kini ditemukan artefaknya sebagai wilayah kedatangan Islam pertama di Minahasa. Meskipun harus diakui ada kesan yang kuat bahwa Islam di Minahasa identik dengan “Jawa Tondano”. Deskripsi Islam Belang !!!
Dalam pengembangan Islam di Minahasa khususnya Tondano tidak bisa dilepaskan dari upaya dan kehadiran “Kiai Mojo” sekitar tahun 1825 -1830 sebagai salah seorang ulama sekaligus sebagai pejuang kemerdekaan dalam membebaskan negara RI. dari belenggu penjajahan. Kiai Mojo dan pengikut-pengikutnya, pada pembuangan di Minahasa pertama kali ditempatkan di Kaburukan sebuah tempat sebelah selatan Kema, kemudian dipindahkan ke sebelah Utara yaitu daerah yang bernama Tasika Oki (Tanjung Merah), namun ternyata mereka minta dipindahkan lagi. Pihak Belanda menempatkan mereka di Lojo (sekarang ini dibangun kantor Bupati Minahasa). Dari sini dipindahkan lagi kesebelah Barat Kali Tondano yang bernama Kawak yang letaknya dibelakang Masjid Tegal Rejo sekarang.
            Dikampung inilah yang dikenal “kampung Jawa Tondano” atau lebih populer disebut kampung jawa atau “Jaton”, sebagai tempat Islam pertama yang dikembangkan oleh “kiai Mojo” dan kawan-kawannya, dengan proses dan cara-cara: (1). Melalui jalur perkawinan dan (2) melalui jalur kesenian yang dikenal dengan “Slawatan Melayu”.
Slawatan Jowo sebagai salah satu kesenian daerah yang sudah dimiliki oleh Kiai Mojo tidak lepas turut dibawa dan dikembangkan di Kampung Jawa ini. Kiai Mojo adalah seorang ulama yang terkenal dari daerah Mojo (Solo). Baliau adalah seorang penasehat keagamawan Pahlawan Dipanegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada tujuan perjuangan rakyat pada abad ke-19. Sebelum perang Dipanegoro (1825-1830) pecah beliau sudah berkenalan dengan pahlawan Dipanegoro. Segera setelah perang pecah, maka beliau sekeluarga datang dan berpihak kepada pahlawan Dipanegoro untuk bersama-sama beliau mengabdikan dirinya kepada peperangan kemerdekaan yang suci. Karena tipu muslihat Belanda beliau dapat tertangkap dan kemudian dibuang ke daerah Tondano di Minahasa (Sulawesi Utara) beserta beberapa orang lainnya antara lain putra beliau sendiri yang bernama Kiai Gazali dan seorang saudara beliau yang bernama Embah Sepuh Baderan. Kiai Mojo wafat dalam pembuangan di Minahasa pada tanggal 20 Desember  1849 jatuh pada hari Kamis Pon, 5 Sura tahun Djimakir 1776          (4 Muharram 1266). Beliau dimakamkan dipekuburan Tondata di Tondano (Minahasa) (Sagimun MD : tt).    

=  Manado =            
Selanjunya, menurut A.E.Rompas dan A.Sigarlaki dalam Sejarah Masuknya Islam di Kota Manado (1982) mengenai proses cara dan jalur penyebaran agama Islam di Manado yang merupakan bagian dari Minahasa ketika itu dapat dicatat sebagai berikut :
Setelah agama Islam masuk di Manado pada tahun 1684, bersamaan dengan datangnya buruh-buruh yang dibawah oleh kompeni Belanda dengan maksud untuk mendirikan barikade/benteng-benteng pertahanan yang dibuat dari kayu, dan buruh-buruh ini kebanyakan pemeluk Islam.
            Menurut beberapa informasi yang diperoleh penelitian Rompas dan Sigarlaki (1982) beberapa daerah/tempat yang pertama sekali dijadikan sebagai tempat masuknya Islam di Manado adalah daerah Pondol, yang dikenal sekarang  Jln. Sam Ratulangi yang sebelah utara dibatasi Gereja Pantekosta Pusat Manado. Daerah ini sedianya  merupakan transit bagi setiap pendatang di daerah Manado, khususnya bagi yang datang ketika itu menggunakan perahu layar.
            Pada perkembangan berikutnya, penyebaran Islam makin terasa setelah hadirnya beberapa pejuang perintis kemerdekaan yang diasingkan oleh kompeni Belanda, sebagai bentuk taktis perang yang dikembangkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, dengan pertimbangan situasional bahwa umat Islam semakin hari semakin bertambah dengan terjadinya assimilasi baik lewat pertautan perkawinan maupun lewat kontak-kontak dagang dengan penduduk setempat. Bagi kolonial Belanda timbul kekhawatiran akan terjadinya pemberontakan dan gejolak dari kaum Muslimin. Kekuatan semangat juang dan perlawanan, spirit Jihad, pada diri kalangan Islam sangat dipahami Belanda. Itulah sebabnya mengapa pemerintah kolonial Belanda memberikan suatu tempat pemukiman bagi penduduk pemeluk Islam agar mereka mudah dikordinir, yang sekarang dikenal dengan nama kampung Islam, dikampung inilah pertama sekali dibangun tempat peribadatan yakni masjid yang diberi nama Masjid Awwal Fathul Mubin tahun 1774 (atau, 1760).
            Kampung Islam merupakan star awal (meskipun) secara perlahan-lahan Islam berkembang dengan semakin banyaknya pendatang-pendatang yang sekaligus mereka berkawin-mawin dan menetap di Manado. Akumulasi pendatang, pola pemukiman dan kultur pendatang yang komunalistik bisa dimengerti merupakan pemicu signifikan berkembangnya komunitas Islam saat itu. Perkuat lagi dengan data, wawancara, deskripsi sosiologi pemukiman dan penyebaran Islam

=Sangihe Talaud=
            Berdasarkan fakta sejarah, dan didukung oleh literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas serta sesuai dengan kondisi obyektif yang ditemukan dilapangan, maka dalam usaha penyebaran agama Islam di Sulawesi Utara pada umunya dan khususnya di kepulauan Sangihe Talaud, dapat dikemukakan sebagai berikut bahwa    Proses penyebaran agama Islam didaerah ini telah memakan waktu yang cukup panjang, kurang lebih berlangsung selama 5 abad). Rentang waktu yang kurang lebih lima (5) abad itu dapat dikatakan berlangsung secara manual yang artinya tampa terprogram secara jelas untuk menetapkan langkah-langkah, daya dukung sarana dan prasarana, dengan strategi dan metode yang relevan, dan tugas suci ini tidak pula dibebankan pada suatu organisasi tertentu, sehingga dengan demikian, terlalu sulit bagi kita untuk menentukan seberapa jauh hasil yang bisa diukur. Tapi, suatu hal yang pasti, bahwa agama Islam telah dipeluk oleh sebahagian penduduk yang mendiami kepulauan Sangihe dan Talaud dan kenyataannya semakin hari semakin tumbuh dan berkembang.
             Menurut H.M Taulu (1977), bahwa terbukanya jalur perdagangan rempah-rempah, seperti cengkih, pala dan lada telah membuka peluang bagi bangsa-bangsa luar antara lain bangsa Eropa untuk berhubungan dengan negeri penghasil utama komoditi tersebut, khusunya bangsa Indonesia. Pedagang-pedagang berkebangsaan Arab termasuk bangsa yang gigih dan tekun mencari daerah asal penghasil utama rempah-rempah itu. (adakah kp Arab??)
            Fakta sejarah membuktikan, bahwa daerah-daerah yang mereka kunjungi tercatat seperti Aceh, Bantam, yang mana daerah ini sebagai penghasil lada, selanjutnya  melalui Cirebon, Demak, Gresik, akhirnya mereka sampai di Maluku dan Ternate, sebagai daerah-daerah utama penghasil cengkih dan pala. Pusat perdagangan pala dan cengkih pada waktu itu adalah Ternate (Maluku Utara). Sejak itu Ternate dikenal sebagai pusat pengembangan agama Islam di Maluku Utara dan sekitarnya. Disamping itu, Kesultanan Ternate mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap daerah-daerah sekitarnya, termasuk daerah Sangihe Talaud. Maka tidak mengherankan kalau di Satal ada kampung bernama “Kampung Tidore”, yang penghuninya mayoritas Islam (asli) Maluku..
            Menurut Adriani, N (1932), daerah Gorontalo (Hulontalo), Limuto (Limboto), Bone, Bualemo dan Atinggola termasuk daerah yang pernah ditaklukan dan dikuasai oleh Kesultanan Ternate, juga Buol dan Toli-Toli.
            Menurut Richard Tacco (1935), daerah Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, yang kemudian disatukan dengan kerajaan Kaidipang, pada tahun 1912, ditaklukan dan dikuasai oleh Kesultanan Ternate. ( penguasaannya,aca H.T.Usup).
            Selanjutnya Dunnerbier, W (1951) mengemukakan, bahwa kepulauan Sangihe dan Talaud juga di bawah kekuasaan dan pengaruh Kesultanan Ternate. Yang cukup menarik untuk diungkapkan adalah pernyataan          Ds. Valentijn yang dikutip oleh Zeimerman, A (1919) mengatakan: “Raja-raja Ternate dalam menaklukan wilayah-wilayah jajahan tersebut, adalah dalam rangka “penyebaran agama Islam”, sebagai ajaran baru yang harus ditanamkan dengan kuat pada wilayah jajahan tersebut”.
            Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa penyebaran agama Islam di kepulauan Sangihe-Talaud, tidaklah dapat dilepaskan dari pengaruh Kesultanan Ternate, meskipun dilain pihak adanya usaha-usaha perorangan antara lain seperti yang dilakukan oleh para pedagang Arab yang mendatangi daerah kepulauan Sangihe - Talaud itu.
            Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah mengenai strategi yang diterapkan oleh Kesultanan Ternate dalam usaha penyebaran agama Islam di daerah yang dikuasainya antara lain melalui pendekatan pengaruhnya terhadap para penguasa setempat, yang disebut para “kulano” (pemuka) atau tokoh masyarkat, sebagaimana diungkapkan oleh HM Taulu (1977): Kesultanan Ternate yang dijumpai oleh para pedagang rempah-rempah tersebut terdiri dari pada beberapa “kulano” yang merupakan kesatuan integral dengan Kesultanan Ternate. Dengan demikian tidaklah mengherankan, kalau sebagian besar penguasa daerah yang takluk dibawah pengaruh Kesultanan Ternate pada waktu itu, adalah sebagai pemeluk agama Islam meskipun pada akhirnya sebagian mereka tidak mampu bertahan karena besarnya pengaruh dari luar, seperti pengaruh dari Zending, missionaris, para penginjil, atau karena bujukan kekuasaan dari penjajah kolonial. (Buktikan secara ilmiah bagaimana pengaruh timbal balik Islamisasi Vs Zending)
            Usaha-usaha untuk membatasi ruang gerak dan langkah maju umat Islam ternyata tidak hanya ditujukan kepada para kulano/penguasa Muslim, tapi juga umat/pemeluk Islam. Hal ini dapat terlihat dengan jelas, sebagaimana diungkapkan oleh H.M. Taulu tentang usaha penginjilan di Bolaang Mongondow, di Gorontalo dan sekitarnya. Hal serupa juga diungkapakan oleh D.Brilman (1938) tentang missi Zending di kepulauan Sangihe - Talaud. (lihat HM Taulu dalam Langkah-Langkah Sejarah Penginjilan ke Sulawesi Utara Terbitan Yayasan Membangun, Manado, Akte Notaris No.5 tertanggal      12-1-52, BAB.XXXIX. h.44 dan BAB XL. H.48-49. Lihat juga D. Brilman dan wilayah-wilayah Zending kita Zending di kepulauan Sangihe - Talaud, Terbitan Badan Pekerja Sinode Gereja Masehi Injili Sangihe - Talauud, 1986, h. 182.)
 = Bolaang Mongondow =
            Awal masuknya Islam ke Istana Raja Bolaang Mongondow adalah melalui proses kontak dagang dengan kesultanan Ternate maupun Kesultanan lain yang ada di Indonesia Timur seperti Kerajaan Gorontalo dan. Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Ini terbukti dengan berhasilnya salah seorang saudagar dari Bugis, Sulawesi Selatan, yang bernama Andi Latai mempersunting puteri Raja Eugenius Manoppo yang bernama Bu’a Hontinimbang yang cantik rupawan, perkawinan ini dapat terlaksana karena Andi Latai dapat memenuhi biaya perkawinan yang sangat mahal sebagai persyaratan yang telah ditetapkan oleh Raja-raja yang mengizinkan puterinya Bu’a Hontinimbang dinikahi secara agama Islam dengan meninggalkan agamanya Kristen Katolik (Z.A. Lantong, 1981). (lanjutkan ceritanya, mengapa Katolik begitu kuat menguasai kerajaan dahulu, kutip pendapat Arifin Assegaf...)
            Kedatangan Andi Latai ke Sulawesi Utara adalah memimpin perahu-perahu Bugis yang membawa barang-barang dagangan dan mereka banyak terlibat dalam pertempuran di laut melawan bajak-bajak laut yang jumlahnya cukup banyak. Terpaksa Andi Latai memerintahkan armadanya berlabuh di pantai Bolaang dan memohonkan perlindungan dari raja Eugenius Manoppo, dan akhirnya mereka mendapat sambutan baik.
            Pada masa itu perairan laut Sulawesi dan Maluku berkeliaran banyak perampok-perampok (bajak laut) yang selalu mencari mangsa terutama saudagar-saudagar yang membawa barang dagangan.
            Dalam kurun waktu antara masuknya agama Islam pada saat pemerintahan raja Eugenius Manoppo (tahun 1770) dan kebangkitan syi’ar agama Islam pada masa pemerintahan Sultan Jacobus Manuel Manoppo (tahun 1833), selama ± 70 tahun, maka perkembangan agama Islam belum banyak kemajuannya. Agama Islam yang terdapat dipesisir-pesisir pantai Utara dalam hal ini kecamatan Bolaang dan sekitarnya, sedangkan di dalam Islam terdapat dualisme, dimana Raja Eugenius Manoppo tetap juga pada agamanya Kristen Katolik, namun ia tidak melarang anak mantunya Andi’ Latai untuk mengajarkan mengaji serta pengetahuan-pengetahuan lainnya tentang agama Islam kepada isteri, anak-anak dan cucunya.
            Kemudian Andi Latai kembali aktif bolak-balik antara Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan membawa barang-barang daganganya. Sampai seorang cucunya  (laki-laki) dipandang berbakat dalam agama Islam, yang bernama Andi Panungkelan (Abraham Sugeha), lebih memperdalam pelajaran-pelajaran agama Islam di Bugis. Andi Panungkelan (Abraham Sugeha) ini akhirnya menjadi seorang ulama Besar. Kenapa namanya (Panungkelan-Sugeha) jadi berubah
            Kisah dan proses “Islamisasi Bolaang Mongondow” lainnya mengatakan sebelum tim 9 yang dipimpin Iman Tueko (dari Gorontalo) masuk menyebarkan agama Islam di Bolaang Mongondow, maka selama kurang lebih 6 tahun yaitu dalam masa pemerintahan Raja Cornelus Manoppo yang berakhirnya pada tahun 1823 hingga masa pemerintahan Raja Ismail Manoppo yang berakhir pada tahun 1929 ada semacam kegiatan survey yang sengaja dikirim dari Gorontalo untuk mempelajari situasi, kondisi dan sosial budaya di kerajaan Bolaang Mongondow. Tim survey ini langsung masuk kepedalaman Bolaang Mongondow dan sengaja tidak singgah di istana raja di Desa Bolaang karena mereka tahu disana sudah ada benih-benih Islam yang disemaikan Andi Latai walaupun belum berhasil meng-Islamkan raja.
            Survey meliputi sosial budaya terutama adat istiadat karena di kerajaan Bolaang Mongondow terdapat pembagian masyarakat dalam 5 kasta atau kelas yaitu: (1). Raja-raja, (2). Bangsawan dengan panggilan     Abo’ untuk laki-laki dan Bua’ untuk perempuan,           (3). Kohongian dengan ‘panggilan baik’ untuk perempuan, (4). Simpal atau rakyat kebanyakan yang juga biasa disebut Tuangilipu’, (5). Nonow/Tahig/Jobuat yaitu kasta yang paling rendah yang dapat diperjual belikan sebagai Ata’ atau budak belian.
            Untuk golongan raja laki-laki disebut Abo’ Moloben dan perempuan disebut Boki’. Hal-hal penting yang berhasil didapat tim survey dari Gorontalo antara lain: Pertama, raja-raja Bolaang Mongondow pada umumnya merasa gembira bila ada tamu dari daerah lain yang mempersembahkan Ata’ atau budak karena hal tersebut merupakan simbol pengakuan kebesaran dan kemuliaan raja oleh kerajaan atau daerah lain; Kedua, raja gemar hiburan yang saat itu baru terbatas pada lagu-lagu dan tari-tarian yang selalu dikaitkan dengan pemujaan roh-roh halus atau Dewata seperti Tari Tayok, Tari Aembu dan Tari Bondit. Ketiga, raja mudah mengagumi gadis-gadis yang pintar terutama yang berwajah cantik; Kelima, rakyat Bolaang Mongondow sangat patuh dan setia terhadap segala titah dan perintah raja; Keenam, seluruh rakyat percaya bahwa siapa yang melawan pemerintah raja selain mendapat hukuman sesuai hukum adat yang berlaku juga akan butungan atau kena kutut yang disebut morondi-rondi’ na’ biung atau hitam seperti arang, dumarag na’ kolawag atau kuning seperti kunyit, yumuyow na’ simuton atau mencair seperti garam, tumonop na’ lnag atau seperti air hujan dititiran atap yang diserap tanah, kimbuton in tolog atau ditelan arus air dan dorotan in montoyanoi atau disambar roh Dewata.
            Oleh sebab itu setelah tim survey kembali ke Gorontalo diadakan persiapan yang sudah matang yang sasarannya untuk meng-Islamkan Raja Bolaang Mongondow yang saat itu dijabat Raja Jocobus Manuel Manoppo.
            Untuk itu maka dibentuklah tim yang terdiri dari 9 orang dibawah pimpinan Iman Tueko yang dilengkapi dengan seorang ata’ (budak) dan seorang gadis cantik putri Iman Tueko bernama Kiling dan Kilingo yang pandai mengaji dan menyanyikan lagu-lagu qasidah sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
            Sebenarnya ketika Raja Jocobus Manuel Manoppo (1853-1856) masuk Islam ia telah menyampaikan permohonan kepada Residen agar di Kerajaan Bolaang Mongondow dapat didatangkan ulama Islam untuk mendidik warga istana dan rakyatnya. Permohonan itu dikabulkan tetapi nanti pada tahun 1860 masa pemerintahan Raja Adrianus Cornelis Manoppo barulah tiba seorang ulama dari Mekkah, seorang Ustaz bernama Syek Abdul Latief Reziek Makki dari Mazhab Syafii. Karena ulama inilah sehingga umat Islam di daerah Bolaang Mongondow pada umumnya menjadi pengikut Mazhab Syafii.
            Setelah Raja Jacobus Manuel Manoppo masuk agama Islam dan sudah beroleh gelar “Sultan” dari Residen, maka dibangunlah mesjid pertama di Desa Bolaang dimana dalam mesjid itu sekaligus berfungsi sebagai Pesantren tempat pendidikan anak-anak Bolaang Mongondow, desa demi desa mulai di Islamkan, seperti desa-desa Kotabangun, Moyag, Biga’, Gogagoman dan lain-lain desa sehingga pada masa pemerintahan Raja Abraham Sugeha (tahun 1880-1892) agama Islam sudah tersebar di seluruh pelosok Kerajaan Bolaang Mongondow.
            Beberapa ulama agama Islam membantu penyebaran agama Islam terus didatangkan dari Gorontalo di Kerajaan Bolaang Mongondow, sehingga semua perangkat di masjid-masjid seperti Iman, Chatib, Syekh, semuanya memakai nama sebutan Gorontalo, yakni : Chatibi, Sehe. Begitupun nama Syara’a itu berasal dari bahasa Gorontalo.

= Gorontalo =
            Sejak penyebaran Islam oleh raja Amai maka diadakan usaha-usaha untuk secara berangsur-angsur menyesuaikan adat dengan ajaran Islam serta mulai dengan menghapuskan adat-adat yang tidak sesuai lagi dengan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kebiasaan-kebiasaan tersebut telah dimulai dalam lingkungan keluarga raja sendiri, kehidupan putera-puterinya, cara makan, berpakaian serta pergaulan diaturnya secara Islam pula.
            Raja Amai adalah seorang raja Gorontalo yang suka memajukan agama, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan kesenian. Semua kebiasaan yang masih berbau animisme dihilangkan secara berangsur-angsur dan dipilihlah dari sekian “perkawinan kebiasaan”.
            Pada saat Raja Amai mengawinkan puteri-puterinya, yaitu Ladihulawa dan Telebutio, diadakan pesta Moliango yang telah disesuaikan dengan tuntutan agama Islam. Moliango merupakan pesta menjelang perkawinan dan biasanya berlangsung paling cepat sebulan dan paling lambat enam bulan.
            Pesta-pesta tersebut menjadi alat perantara bagi Raja Amai untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, serta menghilangkan apa yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tersebut. Dengan demikian pesta Moliango telah mengalami pula “pembersihan” dari unsur-unsurnya yang bertentangan dengan agama Islam. Permainan judi, menyabung ayam, minum-minuman yang memabukkan diganti dengan pesta Moliango yang mengandung pendidikan yang dapat menarik minat  para pemuda dan pemudinya maupun golongan tuanya. Dengan cara demikian terciptalah adat-istiadat yang bersendikan hukum Islam.
            Setelah pesta Moliango ini berlangsung sebulan atau enam bulan, maka pada malam terakhir menjelang esoknya perkawinan, dimainkan tidi lo polopalo sebagai acara resmi. Acara permainan tidi lo polopalo sebagai pengganti tari Gaimbu dalam pesta Moliango, timbul nanti pada saat Raja Amai mengadakan pesta Moliango untuk kedua puterinya.
            Tidi lo polopalo yang merupakan pengganti tari Gaimbu yang hanya mengandung unsur hiburan saja, adalah satu-satunya tarian yang mengandung unsur pendidikan. Itulah pendidikan pertama yaitu pendidikan perasaan yang berdasarkan atas ajaran Islam yang disalurkan oleh Raja Amai melalui (tari) tidi tersebut. Pendidikan yang terkandung didalamnya menjaga kehormatan diri, serta cara cinta terhadap  sesama manusia yaitu perasaan kemanusiaan, rasa tanggung jawab serta cinta alam rumah tangga sendiri, dan masyarakat sekitarnya.
            Menurut Raja Amai, tidi itu adalah merupakan alat dalam pendidikan menuju kearah peningkatan derajat kaum wanita sehingga sederajat dan sama haknya dengan kaum pria. Hal itu telah dinyatakan Raja Amai dalam permainan tidi lo polopalo dengan adanya lat polopalo sebagai senjata dalam membela serta mempertahankan hak dan kewajiban dari suaminya maupun dari masyarkat sekitarnya.
            Didalam permainan tidi lo polopalo, telah terkandung pula ajaran agama Islam antara lain bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan adalah mempunyai hak dan kewajiban yang sama, sederajat tampa perbedaan kasta dan golongan, mengabdikan diri kepada sesamanya. Perbedaan tingkat derajat kemanusiaan dalam masyarkat bukanlah terletak kepada perbedaan darah dan keturunan, tetapi letaknya kepada kemurnian dan keluhuran budi seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kemurnian dan keluhuran budi hanyalah ternyata dalam amal perbuatan yang baik terhadap sesama manusia. Hal inilah yang menjadi tujuan dan akan diwujudkan oleh Tidi lo polopalo dengan melalui pendidikan agama Islam. Makanya tidi tersebut mengandung unsur pengabdian terhadap sesama manusia, sebagai salah satu perintah dalam agama Islam. Dan merupakan pengabdian secara tidak langsung terhadap Tuhan.
            Hukum syarak telah dirintis oleh Amai maharaja utara yang ke 2 tahun 1523? (Lipoeto M 1950, XII : 14), dengan pendirian : Saraa topa-topanga to adati (=syarak yang bertumpu pada adat). Yakni hukum syarak berlaku jika dapat disesuaikan dengan adat. Ia membuat pencatatan wuudu sebanyak 182 pasal. Dapat dikatakan bahwa derajat adat lebih tinggi dari pada syarak.
Faktor Penghambat dan Pendukung Penyebaran Islam
            Faktor penghambat dan pendukung bagi masuk dan berkembangnya agama Islam di Sulawesi Utara pada umunya tidak jauh berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, misalnya antara Minahasa dengan Bolaang Mongondow. Karena itu maka berikut ini penulis hanya mengemukakan salah satu dari daerah-daerah yang terdapat di Sulawesi Utara yakni daerah Bolaang Mongondow sebagai berikut:
= Faktor Penghambat =
Zending
Kehadiran pendeta W. Dunebier dari Belanda yang juga adalah seorang ahli antropologi yang membangun markasnya di Desa Sia’ kecamatan Passi merupakan ujian berat terhadap kelanjutan perkembangan agama Islam di kerajaan Bolaang Mongondow. Betapa tidak karena pendeta yang antropolog ini dalam waktu singkat telah dapat berbahasa Mongondow dengan fasih dan lancar serta berhasil menerjemahkan Alkitab dan buku-buku pelajaran agama Kristen ke dalam bahasa Mongondow. Ia juga berhasil membuat buku berbahasa Mongondow berjudul; O’uman in mogoguyang atau cerita orang-orang tua (Dongeng Mongondow. Kesusastraan daerah seperti Mongondow-Belanda. Kesemuanya ini merupakan daya tarik yang paling ampuh kepada putera-putera asli Bolaang Mongondow terutama bagi sisa-sisa penganut kepercayaan animisme dan dinamisme dan orang-orang yang sudah masuk Islam tapi imannya masih tipis. Apalagi pelaksanaan ibadah dalam agama Kristen yang disebarkan pendeta Dunebier itu langsung menggunakan bahasa Mongondow sehingga lebih cepat dimengerti rakyat pada umumya; apalagi karena mereka masih buta huruf dibandingkan masuk agama Islam yang dalam bersembahyang harus menggunakan bahasa Alqur’an atau bahasa Arab.
            Pada tahun 1906 ia berhasil mendatangkan guru-guru Zending dari Minahasa untuk membuka persekolahan di Bolaang Mongondow. Dalam tahun itu juga berhasil didirikan 14 sekolah di 14 desa dengan guru-gurunya sebagai berikut :
1. Tanggal 14 Juli 1906 sekolah Zending di Desa Nanasi dengan guru J. Rondonuwu dan S.Sondakh.
2. Tanggal 17 Juli 1906 sekolah Zending di Poopo dan Nonapan dengan guru H.Werung dan A.Rombot.
3. Tanggal 17 Juli 1906 sekolah Zending di Mariri Lama dengan guru F.Tampewama dan K.Palapa.
4. Tanggal 30 Juli 1908 sekolah Zending di Kotobangun dengan guru J.Pandegirot dan Tumbelaka.
5. Tanggal 1 Agustus 1906 sekolah Zending di Moyag dengan guru Mandagi dan P.Assa.
6. Tanggal 2 Agustus 1906 sekolah Zending di Pontodon dengan guru J.Ngongoli, M.Tombokan dan W.Tandayu.
7. Tanggal 3 Agustus 1906 di Desa Passi dengan guru Th.Kawuwung dan W.Wuisan
8. Tanggal 4 Agustus 1906 di Poopo dengan guru S.Saraingsong dan J.Mandagi
9. Tanggal 6 Agustus 1906 di Desa Otam dengan guru J.Kodong dan Supit.
10. Tanggal 7 Agustus 1906 di Motoboi Besar dengan guru A.Kuhu dan S.Mamesah serta A.Angkow
11. Tanggal 20 Agustus 1906 di Kopandakan dengan guru H.Kumanaw dan P.Kamasi
12. Tanggal 1 September 1906 di Poyama Kecil dengan guru D.T.Matindas dan Gumogar.
13. Tanggal 10 Agustus di Pobundayan dengan guru A.Suman dan F.A.Najoan.
14. Tanggal 4 September di Mongkonai dengan guru K.Masinambow dan Supit.
            Dengan terbukanya 14 buah sekolah Zending di Bolaang Mongondow ini, adalah sangat mempengaruhi beberapa pemuda Islam yang belum tahu mengaji. Lebih-lebih lagi setelah murid-murid sekolah Zending ini sudah tamat belajar kelas IV, mereka sudah dapat diangkat menjadi guru, sekalipun mereka beragama Islam. Akan tetapi siapa-siapa yang sudah masuk hak istimewa, akan mendapatkan fasilitas khusus seperti gaji lebih tinggi dari guru-guru yang bukan beragama Kristen dan dapat diangkat menjadi Kepala Sekolah.
Pengaruh Gadis-Gadis Cantik dari Minahasa
            Gadis-gadis cantik Minahasa yang sudah beragama Kristen akan diprioritaskan untuk dinikahkan dengan guru-guru Islam yang bersedia beralih ke-agama Kristen.
            Selanjutnya nama-nama pemuda Bolaang Mongondow yang sudah diangkat menjadi guru Zending seperti nama Abdullah diganti Marten, Mohammad diganti Johanis, Sebagai contoh ayah Z.A. Lantong bernama Agom Lantong diganti Bertus Lantong dan saudara sepupuhnya Buyongko Lantong diganti Markus Lantong. Lantong yang tetap mempertahankan Islam sebagai agamanya tetap dalam kedudukan sebagai guru bantu sedangkan Buyongko Lantong yang masuk Kristen diperjodohkan dengan gadis cantik dari Minahasa dan diangkat menjadi kepala sekolah dengan gaji yang jauh lebih tinggi. Itulah sebabnya marga Lantong di Bolaang Mongondow sekarang ini terbagi dua, ada yang Islam dan ada yang Kristen.
            Tidak heran dalam waktu yang relatif singkat agama Kristen (walaupun baru) dianut sebagian kecil, tetapi segera populer di seluruh kerajaan sehingga beberapa desa yang penduduknya orang Mongondow asli seperti desa Pangian Kecamatan Passi, Desa Puisan, Kosio dan Dumoga Kecamatan Dumoga penduduknya mayoritas beragama Kristen. Demikian juga di Kopandakan Kecamatan Laloyan banyak juga terdapat orang-orang Mongondow asli yang beragama Kristen walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
            Di Bolaang Mongondow, Islamisasi tetap bisa berjalan meskipun belum utuh pada level masyarakat, karena adanya semangat kebangsaan pada diri raja. Walaupun Raja Adrianus Cornelius Manappo belum mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam namun jiwa Tauhid yang telah mengalir yang tumbuh disekitar jiwa raganya diatas rasa fanatisme menyebabkan raja ini amat benci terhadap pemerintahan Belanda sebab penjajahan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan bahwa manusia itu adalah sama derajatnya, kecuali siapa yang lebih takwa, itulah yang terbaik dalam pandangan Allah. Sikap raja yang anti pemerintah kolonial Belanda ini menyebabkan ia tidak lama diganti dengan putera kandung Sultan Jocobus bernama Johanis Manuel Manoppo (1862-1880).
            Raja Johanis Manuel Manoppo selama memerintah didampingi seorang Jogugu (di Jawa Mangkubumi) yang berotak tajam, sedangkan raja sendiri juga sangat antipati terhadap Belanda, maka setiap ada pembesar-pembesar Belanda yang datang ia hanya memerintah Jugugu melayaninya. Rupanya Raja Johanis Manuel Manoppo ini mempunyai watak yang sama dengan Raja Adrianus Cornelis Manoppo yang amat benci terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dicap pemerintah kafir. Bahkan raja ini bukan saja tidak mematuhi perintah-perintah dari residen malahan sering mensabotnya sehingga ia segera diberhentikan dengan tuduhan menjadi otak perampokan dan kerusuhan-kerusuhan yang banyak timbul dimana-mana sampai di daerah Minahasa lalu disingkirkan ke pulau Jawa.
            Rupanya Raja Adrianus Cornelis Manoppo menjadi benci kepada pemerintah kolonial Belanda akibat pengaruh ajaran Islam sebagai agama baru yang masuk istana, maka rasa kebangsaan dan semangat ‘nasionalisme’ rupanya mulai bersemi di kalbu raja dan menyebabkan mereka menjadi antipati terhadap penjajah Belanda dengan berani menanggung resikonya berupa pencopotan jabatan yang paling terhormat disetiap kerajaan.
            Oleh sebab itu mengangkat raja-raja baru, Belanda masih curiga terhadap marga Manoppo takut kalau-kalau sikap anti Belanda meluas ke seluruh kerajaan. Maka diangkatlah Andi Panungkelan atau Abraham Sugeha sebagai Datoe Pinonigad (raja penyeling) yang masih ada campuran darah Bugis (1876-1893). ???
            Karena Raja Abraham Sugeha pernah memperdalam ajaran agama Islam di Tanah Bugis, sehingga pengangkatannya menjadi raja telah membawa kemajuan-kemajuan besar. Perkembangan agama Islam di Kerajaan Bolaang Mongondow karena raja sendiri aktif turun ke desa untuk meng-Islamkan rakyatnya. Lagi pula raja yang ulama ini dikenal sangat dekat dengan rakyat yang sebelumnya telah diangkat menjadi khotib kerajaan sehingga Raja Sugeha dimana-mana mendapat sambutan hangat rakyatnya terutama dalam rangka mendengarkan dakwah keagamaan yang sangat menarik yang selalu diakhiri peng-Islaman massal penduduk di pedalaman.
            Dalam menjalankan pemerintahan Raja Abraham Sugeha sangat berhati-hati dan dalam segala upaya ia belum menampakkan sikap anti kolonialisme agar sasaran mengIslamkan penduduk Bolaang Mongondow akan tercapai.
            Maka dalam kurun waktu 15 tahun pemerintahan Raja Abraham Sugeha, agama Islam yang tadinya baru dikenal di Desa Bolaang dan Desa Simboy Tagadan (sekarang kelurahan Motoboi Kecil) dan mesjid yang tadinya baru terdapat di Desa Bolaang kini telah berkembang hampir diseluruh wilayah kerajaan Bolaang Mongondow. Mesjid berdiri dimana-mana bahkan sudah menjadi persyaratan di tiap desa harus ada lapangan olah raga, balai desa (bobakidan) dan mesjid yang letaknya tidak berjauhan sebagai pertanda Islam sudah menjadi agama raja.
            Setelah Raja Abraham Sugeha mengundurkan diri sebagai Datoe Pinonigad maka sebagai penggantinya Belanda kembali mengangkat orang dari keluarga Manoppo yaitu Riedel Manuel Manoppo perkembangan agama Islam terus mengalami perkembangan dan kemajuan.
            Selama pemerintahannya agama Islam terus berkembang dengan sebaik-baiknya, pun diwarnai oleh perkembangan-perkembangan lain, yaitu :
1. Untuk pertama kali ditempatkan di Kerajaan Bolaang Mongondow seorang Kontroleur bangsa Belanda yang bernama Veenhuizen.
2. Istana Kerajaan Bolaang Mongondow di Desa Bolaang dipindahkan ke Desa Kotabangun, kecamatan Kotamobagu. Dipilihnya Desa Kotabangun sebagai Ibu negeri Kerajaan Bolaang Mongondow pada masa pemerintahan Punu’/Raja Damopolii atau Kinalang pada waktu itu (tahun 1480-1510).
3. Dihapuskannya sistem Ata’ (perbudakan) karena dipandang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
4. Dibangunnya sebuah mesjid yang besar di Desa Kotabangun sebagai tempat sholat dan tempat pendidikan agama Islam.
5. Penandatanganan perbatasan Daerah Kerajaan Bolaang Mongondow dengan Daerah Minahasa oleh Jogugu Pusung Sugeha mewakili Raja Datu Cornelis Manoppo yang dilaksanakan di Jakarta dengan merugikan Kerajaan Bolaang Mongondow dengan hilangnya wilayah Tompaso Baru.
Di tengah peristiwa penting dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow ini, maka ulama agama Islam Iman Syafii telah masyhur di seluruh kerajaan. Seiring dengan derapnya perkembangan agama Islam di Bolaang Mongondow maka Raja Riedel Manuel Manoppo diganti oleh Raja Daru Cornelis Manoppo. Agama Islam terus menerus menarik perhatian masyarakat, dimana semua aturan-aturan kebiasaan, adat istiadat bahkan sistem pemerintahannya mulai dimasuki oleh unsur-unsur/nafas-nafas ke-Islaman. Raja D.C. Manoppo mulai membangun dan menata perkampungan di seluruh kerajaan antara lain: 1).Perkataan Lipung diganti Lipu’ atau kampung (desa) dan jalan- jalan di desa mulai diatur kelurusan dan lebarnya dan di kanan atau kiri jalan dibuat got (parit) agar bila hujan turun air tidak menggenang dimata jalan. 2).Rumah-rumah penduduk dibangun menghadap jalan raya dan setiap halaman diharuskan memakai pagar. Pembangunan rumah-rumah penduduk mulai diatur rooymester. 3).Tiap kampung diangkat seorang Sangadi (kepala desa) yang dibantu beberapa orang probis (pamong desa).  4).Untuk mengurus kepentingan umat Islam maka ditiap Lipu’ atau kampung diangkat beberapa orang sara’a atau pegawai syar’i yang dikepalai seorang Imang (Imam). Pegawai syar’i dalam perkembanganya dinamakan Hatibi (Hotib). Pada tingkat distrik atau kecamatan diangkat hakim Islam yang bertugas mengkordinir pegawai-pegawai syari’i di kampung-kampung dan untuk tingkat kerajaan diangkat seorang Kadhi yang bertugas mengkordinir para hakim. Dalam mengkordinir para Imam di desa-desa hakim biasanya dibantu Imam Moloben atau Imam Besar.       5).Pembayaran pajak mulai diberlakukan berdasarkan undang-undang perpajakan di Hindia Belanda dan setiap bulan puasa umat Islam diwajibkan membayar zakat fitrah. 6). Tiap-tiap Lipu’ atau kampung diwajibkan membangun lapangan olah raga, masigi (mesjid) dan bobakidan (balai desa) dengan secara tidak berjauhan satu dengan yang lain. 7).  Jalan-jalan ke wilayah perkebunan mulai diatur, rakyat mulai   dibiasakan kerja bakti untuk membuat jalan yang menjadi kepentingan bersama. 8).   Kepada residen diperjuangkan agar kedudukan Kotamobagu (Kota Baru) yang masih berada di desa Sia’ agar dipindahkan ke arah Selatan ditempat yang lebih strategis yaitu di Bnadar Kotamobagu sekarang ini.
Demikian antara lain beberapa jasa besar Raja D.C.Manoppo yang telah berhasil mengadakan penataan kota, desa dan menyusun struktur pemerintahan di Kerajaan Bolaang Mongondow dimana makam beliau masih terus terpelihara dipinggir sungai Kelurahan Matali Kecamatan Kotamobagu.
= Masuknya Syarikat Islam=.
Pada tahun 1920 melalui Makmur Lubis yang diutus Pimpinan Syarikat Islam (S.I) H.O.S. Cokroaminoto datang di Bolaang Mongondow membuka cabangnya yang berpusat di Desa Molinow. Masuknya S.I. di Bolaang Mongondow disamping menumbuhkan rasa kebangsaan dan ke-Islaman di kalangan masyarakat Bolaang Mongondow yang sudah mayoritas beragama Islam dan meringkuk dibawah tekanan pemerintah Belanda telah pula dimanfaatkan tokoh-tokoh Islam waktu itu untuk mengimbangi pengaruh pendidikan Zending yang mereka anggap dapat melemahkan syiar Islam yang sudah dianut mayoritas penduduk Bolaang Mongondow. Maka muncullah pimpinan S.I. putra daerah asli kelahiran desa Molinow yang sangat disegani kawan dan lawan bernama Adampe Dolot. Dengan segera mereka mengajukan permohonan kepada Kontroleur guna membuka sekolah-sekolah seperti yang telah dijalankan oleh Zending, akan tetapi baik Kontroleur maupun Residen di Manado menolaknya dengan alasan bahwa izin telah diberikan kepada Zending.
            Karenanya Pimpinan Syarikat Islam Adampe Dolot segera berangkat ke Jakarta dengan bantuan penuh dari A.P.Mokoginta yang telah disingkirkan lebih dahulu oleh pemerintah kolonial Belanda dari kerajaan Bolaang Mongondow karena dicurigai menanamkan jiwa kebangsaan di Daerah Kerajaan Bolaang Mongondow untuk menuju Indonesia Merdeka; keduanya langsung mengajukan permohonan kepada Departemen Van Onderwijs en Eeredienst dan permohonan mereka tersebut dikabulkan. Makanya sejak tahun 1926 di Daerah Kerajaan Bolaang Mongondow terdapat dua organisasi keagamaan yang mengelola persekolahan, yaitu Zending dan Syarikat Islam (SI). Sementara itu pengaruh Syarikat Islam makin meluas di seluruh Daerah Kerajaan Bolaang Mongondow. Walaupun masuknya Syarikat Islam yang kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia tidak gampang karena harus melalui Bai’at atau sumpah yang cukup berat, namun anggota-anggotanya terus bertambah dibawah kepemimpinan Adampe Dolot. Di bidang pembangunan didirikan oleh Partai Syarikat Islam Indonesia, kantor-kantor dan gedung-gedung/balai-balai pendidikan Islam, sedangkan dibidang ekonomi hampir disetiap ranting didirikan koperasi-koperasi yang disebut Hazanatullah. Anggota-anggotanya yang telah di bai’at itu tidak ragu-ragu lagi mewakafkan pohon-pohon kelapa yang berbuah, tanah-tanah sawah, ladang, sehingga selain mendapat dana dari iuran anggota, juga tersedia sumber-sumber keuangan yang tetap untuk Kas Partai. Karena Kas Partai Syarikat Islam Indonesia semakin kuat, maka pimpinan partai Syarikat Islam Indonesia di Jakarta telah mengabulkan permohonan pimpinan Cabang Partai Syarikat Islam di Bolaang Mongondow antara lain saudara-saudara Muhamad Safii Wirakusuma, Muhamad Djadjuli Kartawinata, R.Ahmad Hardjodiwiryo, Soenjopranoto, Sarwoko, Ali Bahmid dari Manado, Usman Hadju dari Gorontalo dan Mohamad Tahir dari Sangihe Talaud. Dengan datangnya guru-guru tersebut, maka didirikanlah beberapa sekolah asuhan Partai Syarikat Islam Indonesia yang disebut Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam (BPPI) untuk membendung pengaruh-pengaruh Zending yang semakin besar di Kerajaan Bolaang Mongondow.

=Masuknya Muhammadiyah =.
Sementara itu pada tahun 1931 Muhamadiyah membuka Cabangnya di Kerajaan Bolaang Mongondow dan berkedudukan di Desa Passi. Kehadiran Muhammadiyah ini lebih memperkuat barisan dakwah agama Islam di seluruh kerajaan Bolaang Mongondow. Raja Laurens Cornelis Manoppo tetap mengadakan hubungan dengan Kiyai Muhamad Arsyad Thawil, seorang Guru Besar pada pesantren Manado. Kiyai Haji Muhamad Arsyad Thawil tersebut adalah seorang dari pengikut Pangeran Dipanegoro asal Banten yang sewaktu dibuang ke Manado ia manfaatkan untuk membuka Pesantren yang banyak mencetak kader-kader agama Islam di daerah-daerah Sulawesi Utara dan Tengah. Untuk mengimbangi sekolah H.I.S. asuhan Zending di Kotamobagu yang tidak sembarangan menerima anak-anak dari rakyat jelata, maka Partai Syarikat Islam Indonesia pada tahun 1931 membangun H.I.S. serta pada tahun 1937 membangun Kweekschool di Molinow. Dengan demikian maka anak-anak kampung yang memasuki sekolah-sekolah tersebut sudah dapat berbahasa Belanda pula dan yang lepasan Kweekscool akan diangkat menjadi guru-guru di Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam, atau B.P.P.I.
   Pada tahun 1931 seorang santri bernama Abdul Latif Paputungan, kelahiran Kelurahan Motoboi Kecil karena telah menyelesaikan pelajarannya di Pesantren Manado, asuhan Kiyai Haji Muhamad Arsyad Thawil berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran pada Perguruan Islam Jamiat Haca. Perguruan ini adalah Perguruan Tinggi Islam yang langsung mendapat pembinaan dari Pusatnya di Kairo Mesir. Setelah selesai, maka pada tahun 1941 Abdul Latif Paputungan kembali ke Kotamobagu dan langsung aktif memberikan pelajaran-pelajaran agama Islam, baik melalui kursus-kursus maupun khutbah-khutbah dan dakwah-dakwah di seluruh Kerajaan Bolaang Mongondow sampai dengan waktu pendudukan Jepang, Perang Dunia II (tahun 1942-1945).
            Sebaliknya, di Gorontalo, boleh dikatakan, bahwa agama Islam tidak mengalami hembatan kesulitan yang berarti untuk diterima oleh rakyat Gorontalo, oleh karena agama Islam terlebih dahulu dianut oleh raja-raja mereka sendiri yang menjadi panutan bagi  rakyatnya. Namun, masih ada sebahagian kecil rakyat Gorontalo yang menganut ajaran Islam juga masih mempercayai adanya kekuatan gaib.
Sementara itu beberapa faktor yang pendukung memungkinkan masuknya agama Islam di Gorontalo antara lain :
1. Pengaruh raja-raja Gorontalo, sejak raja Amai yang mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing sehingga dengan mudah menyebarkan agama Islam kedalam wilayah kekuasaannya, dan diikuti oleh raja-raja sesudah Amai wafat.
2. Melalui perkawinan antara yang telah memeluk agama Islam dengan yang belum beragama Islam.
3. Melalui kesenian yang lambat laun isinya mengalami perubahan dengan menyesuaikan tuntutan agama Islam, dan ini dapat terjadi karena langsung diperintahkan oleh raja.

            Hukum adat yang bertentangan dengan agama Islam, oleh raja diadakan perbaikan-perbaikan dan perubahan agar pada akphirnya adat bersendi Alqur’an atau kitabullah.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda